Sabtu, 08 Oktober 2011

P4, Bulan Baru Pluto


Dingin, jauh dari Matahari, tapi Pluto tak sendiri. Setelah Charon yang ditemukan pada tahun 1978, dan kemudian disusul oleh penemuan Nix dan Hydra tahun 2005, kini Pluto mempunyai teman baru, yang diberi nama sementara P4. Teman baru ini adalah satelit alam (bulan) yang mengorbit planet kerdil Pluto.
Gabungan dari citra-citra yang diambil Teleskop Ruang Angkasa Hubble menunjukkan empat bulan mengorbit Pluto. Kredit: NASA, ESA, dan M. Showalter
Teleskop Ruang Angkasa Hubble (HST) yang lah yang berjasa menemukan bulan kecil ini. Dari jarak 5 milyar km, kamera HST mampu mendeteksi P4. Pertama kali P4 terlihat dalam citra yang diambil oleh kamera medan luas 3 (Wide Field Camera 3) teleskop Hubble pada tanggal 28 Juni. Kemudian objek ini terlihat lagi pada citra yang diambil pada tanggal 3 Juli dan 18 Juli. Bulan kecil ini tidak terlihat pada citra-citra yang diambil teleskop Hubble sebelumnya karenaexposure timeyang diterapkan pada saat itu lebih singkat.
Diameter bulan baru yang diberi nama sementara P4 ini diperkirakan antara 13-34 km. Bandingkan dengan diameter Charon, satelit Pluto yang terbesar, yang mencapai 1043 km, dan juga Nix dan Hydra yang diameternya antara 32-113 km. Jadi, sementara ini P4 terkecil di antara bulan-bulan yang ditemukan mengorbit Pluto. Sementara itu, posisi P4 terletak di antara orbit Nix dan Hydra.
Ilustrasi sistem satelit yang mengorbit Pluto. Orbit P4, terletak di antara orbit Nix dan Hydra. Kredit: NASA, ESA, dan A. Feild (STScI)
Kita ingat bahwa analisa batuan yang diambil dari Bulan oleh misi-misi Apollo telah menggiring astronom berkesimpulan jika tumbukan antara Bumi dan objek sebesar planet Mars telah terjadi 4.4 milyar tahun silam dan material yang terlontar berakresi membentuk Bulan. Keseluruan sistem satelit yang mengorbit Pluto terbentuk akibat tumbukan yang serupa. Tumbukan diyakini telah terjadi antara Pluto dan objek lain yang kurang lebih sebesar planet. Tumbukan ini terjadi ketika Tata Surya kita masih muda. Material yang terlontar akibat tumbukan ini bergabung menjadi sekeluarga satelit yang mengedari Pluto. Astronom menduga material yang dilontarkan bulan-bulan Pluto akibat tumbukan-tumbukan antarmaterial berukuran mikro membentuk cincin di sekeliling planet kerdil. Sejauh ini Teleskop Hubble belum mendeteksi cincin semacam ini.
Penemuan ini turut mendukung misi New Horizon yang tengah dikerjakan NASA. Misi ini dijadwalkan akan mencapai orbit Pluto tahun 2015 dan ditujukan untuk memperoleh pemahaman baru mengenai dunia di tepi luar Tata Surya kita. Pemetaan permukaan Pluto yang dilakukan teleskop Hubble dan penemuan satelit-satelit sangat berharga dalam merencanakan bagaimana New Horizon nanti terbang mendekati Pluto serta observasi lebih detail saat New Horizon terbang-dekat melintasi Pluto.

Komet yang (Hampir) Seterang Merkurius


30 September 2011 jelang pukul 22:00 WIB, sebuah titik putih dengan magnitudo semu sekitar +1 terekam di sudut kanan bawah citra LASCO C3 SOHO (Solar and Heliospheric Observatory), sang veteran pemantau Matahari yang telah bertengger di orbitnya selama hampir 16 tahun. Berselang setengah jam kemudian, titik cahaya tersebut telah beringsut sedikit menuju sebelah kiri atas, berlawanan dengan gerak bintang–bintang yang ada di latar belakang citra yang sama. Dan yang membuatnya unik dibanding titik–titik cahaya lainnya, nampak bentuk ekor memancar dari titik cahaya ini. Tak pelak lagi, titik cahaya tersebut adalah komet yang sedang bergerak dalam lintasannya mendekati perihelionnya (titik terdekat terhadap Matahari). Komet ini tidak pernah tercatat dalam katalog sehingga jelas merupakan komet baru.
Komet SOHO (dalam lingkaran putus-putus) pada awal terdeteksi instrumen LASCO C3, 2 September 2011 jelang pukul 22:00 WIB. Kredit : NASA
Meski tak dikenal, namun berdasarkan pola lintasannya dapat diperkirakan komet ini adalah keluarga komet Kreutz. Keluarga komet Kreutz berasal dari sebuah komet raksasa (diameter inti +/– 100 km) yang lebih dari 20 abad silam terlihat di langit. Demikian besar ukurannya sehingga komet Kreutz bahkan sangat mudah dilihat meski di siang bolong dengan Matahari terang benderang. Karena perihelion demikian dekat, komet menderita tekanan angin Matahari dan gravitasi sekaligus sehingga terjadi fragmentasi tidal dan non–tidal, yang mengubahnya menjadi fragmen–fragmen beragam ukuran namun tanpa kehilangan sifat kometnya. Kala fragmen–fragmen ini kembali mendekati perihelionnya di kemudian hari, fragmentasi tidal dan non–tidal yang sama kembali bekerja sehingga kian banyak terbentuk fragmen komet dalam beragam ukuran yang semuanya membentuk keluarga besar komet Kreutz.
Komet SOHO pada 1 Oktober 2011 pukul 15:00 WIB yang telah demikian cemerlang hingga hampir menyamai kecerlangan Merkurius. Kredit : NASA, 2011
Sedikit berbeda dengan keluarga komet Kreutz lainnya yang telah teramati satelit SOHO sebelumnya dan rata–rata memiliki estimasi diameter inti hanya beberapa puluh meter, komet SOHO kali ini nampaknya lebih besar. Indikasinya nampak dari kecerlangannya yang hampir menyamai Merkurius, yakni pada magnitudo semu sekitar –1. Indikasi lainnya, komet terlihat mengalami fragmentasi non–tidal yang brutal yang membuatnya mulai remuk tatkala jaraknya dengan Matahari masih lebih jauh dibanding remuknya komet–komet keluarga Kreutz yang pernah teramati sebelumnya. Remuknya komet ini sudah terpantau di instrumen LASCO C3 yang memiliki medan pandang lebar dan nampak lebih jelas lagi dalam LASCO C yang medan pandangnya lebih sempit.
Seperti komet keluarga Kreutz lainnya yang pernah teramati, komet SOHO kali juga hanya mampu sekali mendekati perihelionnya untuk kemudian lenyap sepenuhnya karena fragmentasi non–tidal yang brutal membuatnya teruapkan habis. Mengutip kata–kata Chairil Anwar, komet ini “..sekali berarti, setelah itu mati…” Peristiwa spektakuler itu terjadi pada Minggu 2 Oktober 2011 di kala fajar untuk zona waktu Indonesia bagian barat (WIB).
Indikasi fragmentasi non–tidal yang brutal pada komet SOHO (tanda panah) seperti teramati dalam LASCO C3 (kiri) dan C2 (kanan), masing–masing pada pukul 20:30 WIB dan 22:48 WIB. Kredit : NASA, 2011

Komet dan Samudera, Sebuah Benang Merah


Bumi adalah sebuah keajaiban semesta. Pada masa awal tata surya, Matahari berada dalam fase T–Tauri yang dramatis sehingga membuat senyawa–senyawa gampang menguap seperti air, hidrogen, helium, metana, amoniak, nitrogen, karbon monoksida dan karbondioksida terusir dari permukaan planet–planet terestrial bersama sisa gas dan debu yang membentuk tata surya. Fase T–Tauri menyebabkan Matahari meradiasikan angin Matahari jauh lebih intens dan melepaskan panas dengan intensitas lebih besar, sehingga pada orbit Bumi saja suhunya diestimasikan sebesar 2.000° Celcius atau 100 kali lebih panas dibanding sekarang.
Maka menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa kini Bumi demikian berlimpah dengan air? Sebab ganasnya lingkungan tata surya purba pada saat Matahari menjalani fase T–Tauri hanya akan menyisakan senyawa–senyawa silikat saja di Bumi. Sementara air terusir jauh–jauh sampai ke jarak 600 hingga 750 juta km dari Matahari. Dan dibandingkan planet–planet terestrial tetangganya, hanya di Bumi air berada dalam wujud cair dan berlimpah. Sangat berbeda dengan Mars, yang hanya bisa dijumpai adanya jejak–jejak aliran air purba di permukaannya dengan siklus pembasahan sekitar setengah hingga sejuta tahun sekali. Pun demikian Merkurius, dimana air bahkan hanya bisa dijumpai pada kawasan sangat terbatas di kedua kutubnya sebagai bekuan abadi (permafrost).
Darimana air di Bumi berasal menjadi pertanyaan besar yang terus menggayuti benak astronomi. Air diketahui tersedia berlimpah di kawasan pinggiran tata surya, tersimpan sebagai bekuan (es) pada kometisimal–kometisimal yang menghuni awan komet Opik–Oort maupun sabuk Kuiper–Edgeworth. Satu–satunya mekanisme yang memungkinkan mengangkut air dari kawasan ini ke bagian dalam tata surya, khususnya ke planet–planet terestrial dan lebih khusus lagi ke Bumi hanyalah tumbukan benda langit. Dalam hal ini adalah tumbukan komet dengan Bumi. Meski tumbukan komet selalu diikuti pelepasan energi sangat besar yang ditandai munculnya bola api tumbukan bersuhu sangat tinggi, namun distribusi suhunya tidaklah homogen sehingga hanya sebagian kecil saja air dalam komet yang terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Sisanya tetap berupa air meski dalam wujud uap. Jejak kawah di Bulan menyajikan bukti telanjang bahwa Bumi purba pernah mengalami periode paling riuh dalam tumbukan dengan komet, yang dikenal sebagai Periode Hantaman Besar. Hantaman Besar berlangsung 4,2–3,8 milyar tahun silam, dengan jumlah tumbukan komet per satuan waktu adalah sangat besar hingga sejuta kali lipat dari nilai sekarang.
Inti komet Hartley 2 dari jarak 700 km. Sumber : NASA, 2010
Namun komet dari mana yang berperan mengguyurkan air ke Bumi? Kini teka–teki itu mulai sedikit terkuak seiring publikasi hasil observasi terhadap komet Hartley 2 oleh para astronom Eropa yang bersenjatakan teleskop landas bumi Herschel. Komet yang melintas di dekat Bumi pada November 2010 lalu ternyata memiliki sidik jari nyaris identik dengan air di Bumi.
Berbeda dengan observasi in–situ seperti yang dilakukan NASA lewat misi EPOXI (Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation) yang bertulangpunggungkan wahana antariksa veteran Deep Impact, observasi Herschel lebih menekankan pada komposisi air khususnya rasio air berat terhadap air ringan (air normal) dalam coma Hartley 2. Air berat merupakan istilah populer bagi D2O, yakni molekul identik air yang atom–atom hidrogennya digantikan oleh atom deuterium, yakni atom hidrogen yang inti atomnya berupa 1 proton + 1 neutron. Sementara air ringan adalah air biasa atau H2O. Rasio antara air berat terhadap air ringan, atau lebih spesifik lagi antara atom deuterium terhadap atom hidrogen, merupakan sidik jari bagi air.
Air di Bumi mengandung 1.558 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini sangat berbeda dibandingkan air pada enam komet yang telah diobservasi sebelumnya dan diyakini berasal dari awan komet Opik–Oort, salah satunya komet Halley. Air pada komet–komet tersebut mengandung atom deuterium lebih besar yakni 2.960 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Angka ini nyaris dua kali lipat sidik jari air di Bumi, sehingga jelas air di Bumi tidak berasal dari kometisimal–kometisimal awan komet Opik–Oort.
Yang mengejutkan, justru sidik jari air di meteorit karbon kondritik yang lebih mendekati sidik jari air di Bumi, yakni dengan komposisi sekitar 1.400 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Namun meteorit tipe ini merupakan pecahan asteroid, khususnya asteroid kelas M yang terletak di Sabuk Asteroid Utama. Asteroid M terdistribusi pada jarak antara 300 hingga 600 juta km dari Matahari dengan konsentrasi terbanyak pada jarak sekitar 450 juta km. Meskipun air pada masa tata surya purba, khususnya saat Matahari menjalani fase T–Tauri, berada pada jarak antara 600 hingga 750 juta km dari Matahari sehingga sebagian populasi asteroid M tercakup didalamnya, namun jumlahnya cukup kecil sehingga tidak memungkinkan mencukupi suplai air ke Bumi.
Sidik jari air di komet Hartley 2 berdasarkan observasi teleskop landas bumi Herschel. Sumber : Space.com, 2011
Observasi teleskop landas bumi Herschel dengan memanfaatkan instrumen Heterodyne Instrument for the Far Infrared menyajikan fakta : air di komet Hartley 2 mengandung 1.610 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini nyaris identik dengan sidik jari air di Bumi. Dan dengan fakta bahwa komet Hartley 2 berasal dari kometisimal sabuk Kuiper–Edgeworth, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa air di Bumi memang datang dari kawasan ini. Inilah benang merah itu.
Dengan data terbaru ini maka kita mampu merekonstruksikan datangnya air ke Bumi dengan sedikit lebih baik. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Periode Hantaman Besar, yang disebabkan oleh migrasi planet–planet gas. Saturnus, Uranus dan Neptunus purba bergerak lebih menjauh terhadap Matahari dibanding lokasi pembentukannya, sementara Jupiter purba justru sebaliknya yakni lebih mendekat ke Matahari. Migrasi ini menyebabkan planetisimal–planetisimal mini yang berada di antaranya dipaksa hengkang dari lokasi pembentukannya. Sebagian dihentakkan keluar menjauhi Matahari hingga menyusun sabuk Kuiper–Edgeworth. Namun sebagian lainnya dipaksa melesat menuju kawasan tata surya bagian dalam sehingga menghujani planet–planet terestrial.
Pada periode ini, Bumi diperkirakan menerima sedikitnya 70 trilyun ton air, yang memungkinkan untuk menciptakan samudera pertama. Planet–planet terestrial lainnya pun mengalami hal serupa. Hanya saja baik Mars, Venus maupun Merkurius tidaklah seberuntung Bumi sehingga air tak dapat bertahan lama di permukaan planet–planet tersebut.

Mengangkasa Di LKIG Dengan Roket Air


Tanggal 2-5 Oktober 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI menyelenggarakan final Lomba Kreativitas Ilmiah Guru (LKIG) Ke-19.
Acara yang diadakan di Kantor Pusat LIPI, tersebut diikuti oleh para guru dari berbagai tingkatan penidikan mulai dari pendidikan dasar, menengah pertama dan menengah atas. Lomba kreativitas yang diadakan untuk guru sekolah dasar terbuka untuk sleuruh mata pelajaran dengan sang guru memilih satu bidang. Sedangkan untuk guru SMP dan SMA, yang dilombakan meliputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan(IPSK) dan Bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Teknologi (MIPATEK).
LKIG yang diadakan oleh LIPI tersebut bertujuan untuk memberikan inspirasi sekaligus meningkatkan daya kreativitas guru dalam upaya pengembangan proses pembelajaran guna mempermudah pemahaman ilmu pengetahuan bagi para peserta didik. Dan dari seluruh karya peserta yang masuk, dipilihlah 5 finalis dari masing-masing tingkat pendidikan dan khusus untuk SMP dan SMA dipilih 5 finalis dari masing-masing bidang.
Seluruh pemenang LKIG. Kredit : Anton William
Aldino saat menerima piala dan penghargaan. Kredit : Anton William
Di antara seluruh finalis, satu di antaranya adalah Aldino Adry Baskoro dari langitselatan yang mewakili Sekolah Alam Bandung menampilkan karya Roket Air yang sudah ia kembangkan selama ini semenjak tahun 2008. Hasilnya, karya tersebut tidak hanya bisa kami bagikan lewat situs ini, tapi Dino juga bisa meroket dalam LKIG dan meraih juara pertama. Diharapkan roket air yang dikembangkan ini dapat terus disebarkan dan digunakan bagi siswa tidak saja untuk mengembangkan daya kreatifitas melainkan juga sebagai perkenalan awal pada dunia antariksa. Di balik kebahagiaan itu, beberapa waktu lalu kami juga baru mengetahui kalau ebook yang kami sebarkan foto-fotonya dikopi begitu saja untuk ditampilkan dalam buku milik Ristek tanpa memberikan kredit pada sang pemilik foto.

Senin, 03 Oktober 2011

Perbandingan Ukuran Bintang-Bintang dan Obyek Antariksa Lainya

Supernova Tipe Ia dari Galaksi Pinwheel


Seperti apa bintang yang meledak? Manusia di Bumi saat ini mungkin bisa menjadi saksi dari ledakan bintang yang dikenal sebagai supernova itu. Tapi, sayangnya supernova ini bukan sesuatu yang bisa dilihat begitu saja dengan mata telanjang.
Ledakan Bintang Langka
SN 2011fe atau PTF 11kly yang berada di galaksi Pinwheel. Kredit : Credit: BJ Fulton, LCOGT
Supernova PTF 11kly atau SN 2011fe merupakan ledakan bintang yang baru ditemukan oleh Andy Howell dari UC Santa Barbara dan para peneliti dari Las Cumbres Observatory Global Telescope Network (LCOGT).  SN 2011fe yang dilihat di Galaksi Pinwheel (M101) tersebut berada dekat dengan Bumi yaitu sekitar 21 juta tahun cahaya, jika dibanding dengan supernova sejenis dalam satu generasi.  Galaksi Pinwheel yang menjadi galaksi induk bagi SN 2011fe merupakan galaksi spiral dengan massa 10 kali galaksi Bima Sakti.
Kalau dekat apakah ledakan bintang ini berbahaya atau berpengaruh bagi Bumi? Jawabannya jelas tidak berbahaya dan tidak akan mempengaruhi Bumi.  Yang menarik dari penemuan pada tanggal 24 Agustus lalu tersebut adalah, SN 2011fe diyakini merupakan supernova yang baru meledak dalam beberapa jam. Tak pelak ini menjadi kejadian langka yang dapat disaksikan para pengamat langit.
Kesempatan ini tak disia-siakan. Bagaimana tidak, para pengamat langit bisa mendapatkan segudang informasi dari supernova yang baru berusia muda aka baru beberapa jam terjadi. Para astronom di seluruh dunia kemudian mengarahkan teleskopnya ke SN 2011fe tersebut. Tak ketinggalan juga Teleskop Hubble dan Teleskop milik UCSB yang berafiliasi dengan LCOGT.
Pengamatan PTF 11kly dari tanggal 22, 23, dan 24 Agustus. Tanggal 22 Agustus, SN 2011fe tersebut belum nampak. Ditemukan 23 Agustus dan tampak cerlang tanggal 24 Agustus. Kredit : Peter Nugent & Palomar Transient Factory
Supernova yang juga diberi identifikasi PTF 11kly mengindikasikan kalau ia ditemukan oleh Palomar Transient Factory (PTF) dan diamati menggunakan teleskop Palomar 48 inchi. Dalam pengamatan dari tanggal 22 – 24 Agustus, SN 2011fe tidak tampak pada tanggal 22 dan dilihat tanggal 23 kemudian tampak cerlang di tanggal 24 Agustus. Untuk Supernova Tipe Ia pada jarak ini akan memiliki kecerlangan puncak pada kisaran 10 magnitudo jika cahayanya tidak diserap oleh materi antar bintang di M101.  Dari pengamatan semenjak tanggal 24 Agustus, kecerlangan SN 2011fe terus meningkat yakni dari magnitudo 17,2 pada tanggal 24 Agustus dan pada tanggal 6 September lalu kecerlangannya mencapai magnitudo 9,7.
Supernova Tipe Ia
Transfer massa dalam sistem bintang ganda yang menyebabkan bintang katai putih meledak sebagai supernova tipe Ia. kredit : Harvard
Supernova PTF 11kly diklasifikasikan sebagai supernova tipe Ia yang merupakan ledakan bintang tua dengan massa kecil. Setelah meledak, ia akan mencapai kecerlangan lebih dari milyaran Matahari dalam 3 minggu pertama, karena proses ledakan itu menciptakan elemen radioaktif energetik yang kemudian meluruh dan memancarkan cahaya. Normalnya, ledakan bintang tersebut tidak dapat langsung dilihat setelah terjadi ledakan karena kecerlangannya sangat redup.
Supernova Ia terjadi bila ada bintang katai putih memiliki massa hampir sama dengan batas Chandrasekar (1,44 massa Matahari) berpasangan dengan bintang lain dalam sistem bintang ganda dekat. Bintang katai putih sendiri merupakan akhir kehidupan bintang-bintang bermassa Matahari.
Seperti halnya dalam bintang ganda, ada transfer massa antara kedua bintang. Ketika terjadi aliran materi ke bintang katai putih, massanya akan meningkat dan melampaui batas Chandrasekar. Akibatnya bintang runtuh atau mengerut dengan cepat disertai pembebasan energi yang besar yang mampu melontarkan bagian luar bintang. Terjadilah ledakan bintang yang sangat cerlang dan bersinar luar biasa terang di dalam galaksi induknya. Akibatnya, supernova jenis ini gampang dikenali dari jarak yang jauh.
Supernova tipe Ia biasanya digunakan sebagai lilin penentu jarak yang menentukan jarak pengamat dengan galaksi induknya. Ia juga digunakan untuk mengukur pengembangan alam semesta. Bisa melihat supernova jenis ini dari dekat artinya astronom bisa mendapatkan datang yang lebih banyak lagi. Karena itulah semua teleskop kemudian diarahkan ke supernova PTF 11kly.
Selain itu, bisa menyaksikan supernova yang masih muda akan memberi petunjuk mengenai lapisan terluar bintang yang terlontar keluar sehingga bisa diketahui bintang apa yang meledak sehingga dapat diketahui asal mula supernova tipe Ia.

Bagaimana Mengamati SN 2011fe ?

Kehadiran supernova PTF 11kly memberi kesempatan bagi astronom amatir untuk turut menyaksikannya dalam beberapa minggu ke depan. Waktu terbaik untuk melihat supernova ini adalah kala senja di di Bumi belahan utara pada lokasi yang tidak terkena polusi cahaya dengan sepasang binokular atau lebih baik lagi sebuah teleskop kecil. Galaksi Pinwheel dapat ditemukan tak jauh dari area ekor beruang besar atau rasi Ursa Mayor. Artinya, para pengamat di langit selatan tidak akan dapat melihat supernova tersebut.

Planet X Bukan Planet Nibiru


Bagian luar Tata Surya masih memiliki banyak planet-planet minor yang belum ditemukan. Sejak pencarian Planet X dimulai pada awal abad ke 20, kemungkinan akan adanya planet hipotetis yang mengorbit Matahari di balik Sabuk Kuiper telah membakar teori-teori Kiamat dan spekulasi bahwa Planet X sebenarnya merupakan saudara Matahari kita yang telah lama “hilang”. Tetapi, mengapa kita harus cemas duluan akan Planet X/Teori Kiamat ini? Planet X kan tidak lain hanya merupakan obyek hipotetis yang tidak diketahui?
Teori-teori ini didorong pula dengan adanya ramalan suku Maya akan kiamat dunia pada tahun 2012 (Mayan Prophecy) dan cerita mistis Bangsa Sumeria tentang Planet Nibiru, dan akhirnya kini memanas sebagai “ramalan kiamat” 21 Desember 2012. Namun, bukti-bukti astronomis yang digunakan untuk teori-teori ini benar-benar melenceng.
Pada 18 Juni kemarin, peneliti-peneliti Jepang mengumumkan berita bahwa pencarian teoretis mereka untuk sebuah massa besar di luar Tata Surya kita telah membuahkan hasil. Dari perhitungan mereka, mungkin saja terdapat sebuah planet yang sedikit lebih besar daripada sebuah objek Plutoid atau planet kerdil, tetapi tentu lebih kecil dari Bumi, yang mengorbit Matahari dengan jarak lebih dari 100 SA. Tetapi, sebelum kita terhanyut pada penemuan ini, planet ini bukan Nibiru, dan bukan pula bukti akan berakhirnya dunia ini pada 2012. Penemuan ini adalah penemuan baru dan merupakan perkembangan yang sangat menarik dalam pencarian planet-planet minor di balik Sabuk Kuiper.
Dalam simulasi teoretis, dua orang peneliti Jepang telah menyimpulkan bahwa bagian paling luar dari Tata Surya kita mungkin mengandung planet yang belum ditemukan. Patryk Lykawa dan Tadashi Mukai dari Universitas Kobe telah mempublikasikan paper mereka dalam Astrophysical Journal. Paper mereka menjelaskan tentang planet minor yang mereka yakini berinteraksi dengan Sabuk Kuiper yang misterius itu.
Kuiper Belt Objects (KBOs)
Sedna, salah satu objek di Sabuk Kuiper. Kredit : NASA
Sabuk Kuiper menempati wilayah yang sangat luas di Tata Surya kita, kira-kira 30-50 SA dari Matahari, dan mengandung sejumlah besar objek-objek batuan dan metalik. Objek terbesar yang diketahui adalah planet kerdil (Plutoid) Eris. Telah lama diketahui, Sabuk Kuiper memiliki karakteristik yang aneh, yang mungkin menandakan keberadaan sebuah benda (planet) besar yang mengorbit Matahari dibalik Sabuk Kuiper. Salah satu karakterikstik tersebut adalah yang disebut dengan “Kuiper Cliff” atau Jurang Kuiper yang terdapat pada jarak 50 SA. Ini merupakan akhir dari Sabuk Kuiper yang tiba-tiba, dan sangat sedikit objek Sabuk Kuiper yang telah dapat diamati di balik titik ini. Jurang ini tidak dapat dihubungkan terhadap resonansi orbital dengan planet-planet masif seperti Neptunus, dan tampaknya tidak terjadi kesalahan (error) pengamatan. Banyak ahli astronomi percaya bahwa akhir yang tiba-tiba dalam populasi Sabuk Kuiper tersebut dapat disebabkan oleh planet yang belum ditemukan, yang mungkin sebesar Bumi. Objek inilah yang diyakini Lykawka dan Mukai, dan telah mereka perhitungkan keberadaannya.
Para peneliti Jepang ini memprediksikan sebuah objek besar, yang massanya 30-70 % massa Bumi, mengorbit Matahari pada jarak 100-200 SA. Objek ini mungkin juga dapat membantu menjelaskan mengapa sebagian objek Sabuk Kuiper dan objek Trans-Neptunian (TNO) memiliki beberapa karakteristik orbital yang aneh, contohnya Sedna.
Objek-objek trans Neptunian. Kredit : NASA
Sejak ditemukannya Pluto pada tahun 1930, para astronom telah mencari objek lain yang lebih masif, yang dapat menjelaskan gangguan orbital yang diamati pada orbit Neptunus dan Uranus. Pencarian ini dikenal sebagai “Pencarian Planet X”, yang diartikan secara harfiah sebagai “pencarian planet yang belum teridentifikasi”. Pada tahun 1980an gangguan orbital ini dianggap sebagai kesalahan (error) pengamatan. Oleh karena itu, pencarian ilmiah akan Planet X dewasa ini adalah pencarian untuk objek Sabuk Kuiper yang besar, atau pencarian planet minor. Meskipun Planet X mungkin tidak akan sebesar massa Bumi, para peneliti masih akan tetap tertarik untuk mencari objek-objek Kuiper lain, yang mungkin seukuran Plutoid, mungkin juga sedikit lebih besar, tetapi tidak terlalu besar.
“The interesting thing for me is the suggestion of the kinds of very interesting objects that may yet await discovery in the outer solar system. We are still scratching the edges of that region of the solar system, and I expect many surprises await us with the future deeper surveys.” – Mark Sykes, Direktur Planetary Science Institute (PSI) di Arizona.
Planet X Tidaklah Menakutkan
Jadi, dari mana Nibiru ini berasal? Pada tahun 1976, sebuah buku kontroversial berjudul The Twelfth Planetatau Planet Kedua belas ditulis oleh Zecharian Sitchin. Sitchin telah menerjemahkan tulisan-tulisan kuno Sumeria yang berbentuk baji (bentuk tulisan yang diketahui paling kuno). Tulisan berumur 6.000 tahun ini mengungkapkan bahwa ras alien yang dikenal sebagai Anunnaki dari planet yang disebut Nibiru, mendarat di Bumi. Ringkas cerita, Anunnaki memodifikasi gen primata di Bumi untuk menciptakan homo sapiens sebagai budak mereka.
Ketika Anunnaki meninggalkan Bumi, mereka membiarkan kita memerintah Bumi ini hingga saatnya mereka kembali nanti. Semua ini mungkin tampak sedikit fantastis, dan mungkin juga sedikit terlalu detail jika mengingat semua ini merupakan terjemahan harfiah dari suatu tulisan kuno berusia 6.000 tahun. Pekerjaan Sitchin ini telah diabaikan oleh komunitas ilmiah sebagaimana metode interpretasinya dianggap imajinatif. Meskipun demikian, banyak juga yang mendengar Sitchin, dan meyakini bahwa Nibiru (dengan orbitnya yang sangat eksentrik dalam mengelilingi Matahari) akan kembali, mungkin pada tahun 2012 untuk menyebabkan semua kehancuran dan terror-teror di Bumi ini. Dari “penemuan” astronomis yang meragukan inilah hipotesis Kiamat 2012 Planet X didasarkan. Lalu, bagaimanakah Planet X dianggap sebagai perwujudan dari Nibiru?
Kemudian terdapat juga “penemuan katai coklat di luar Tata Surya kita” dari IRAS pada tahun 1984 dan “pengumuman NASA akan planet bermassa 4-8 massa Bumi yang sedang menuju Bumi” pada tahun 1933. Para pendukung hipotesis kiamat ini bergantung pada penemuan astronomis tersebut, sebagai bukti bahwa Nibiru sebenarnya adalah Planet X yang telah lama dicari para astronom selama abad ini. Tidak hanya itu, dengan memanipulasi fakta-fakta tentang penelitian-penelitian ilmiah, mereka “membuktikan” bahwa Nibiru sedang menuju kita (Bumi), dan pada tahun 2012, benda masif ini akan memasuki bagian dalam Tata Surya kita, menyebabkan gangguan gravitasi.
Dalam pendefinisian yang paling murni, Planet X adalah planet yang belum diketahui, yang mungkin secara teoretis mengorbit Matahari jauh di balik Sabuk Kuiper. Jika penemuan beberapa hari lalu memang akhirnya mengarah pada pengamatan sebuah planet atau Plutoid, maka hal ini akan menjadi penemuan luar biasa yang membantu kita memahami evolusi dan karakteristik misterius bagian luar Tata Surya kita.

Terlepasnya Oksigen Dari Atmosfer Bumi


Oksigen secara konstan bocor keluar dari atmosfer Bumi dan masuk ke ruang angkasa. Berita tersebut datang dari Cluster satelit milik ESA yang juga mengkonfirmasikan kalau penyebab kebocoran oksigen tersebut justru berasal dari medan magnetik Bumi sendiri. Jadi medan magnetik Bumi mempercepat terlepasnya oksigen ke angkasa.
Oksigen yang lepas dari area kutub Bumi. Kredit : NASA/ESA
Data yang dihasilkan Cluster dari tahun 2001-2003 menunjukan selama tahun-tahun tersebut, cahaya bermuatan atom oksigen yang dikenal sebagai ion, keluar dari area kutub menuju angkasa. Cluster juga mengukur kekuatan dan arah medan magnetik Bumi saat cahaya itu ada disana. Hasil analisis data Cluster yang dilakukan oleh Hans Nilsson dari Swedish Institute of Space Physicsmenunjukan ion oksigen mengalami percepatan akibat perubahan arah medan magnet. Data dari Cluster berhasil memberi informasi kemiringan medan magnetik dan perubahan arahnya berdasarkan waktu.
Sebelum era penjelajahan angkasa, dipercahaya medan magnetik Bumi hanya diisi oleh partikel-partikel angin Matahari. Dan diperkirakan partikel-partikel ini membentuk kondisi yang melindungi Bumi dari interaksi langsung dengan angin Matahari.
Menurut Nilsson, saat ini mereka baru menyadari besarnya interaksi yang terjadi diantara angin Matahari dan atmosfer. Partikel energetik dari angin Matahari dapat diteruskan sepanjang medan magnetik. Dan bila terjadi tabrakan dengan atmosfer Bumi, terjadilah aurora. Biasanya fenomena ini terjadi di kutub bumi. Interaksi yang sama memberikan energi yang cukup pada ion oksigen untuk mengalami percepatan dan keluar dari atmosfer menuju ke area medan magnetik Bumi.
Data yang diperoleh Cluster didapat di atas kutub Bumi saat atelit tersebut terbang pada ketinggian 30000 – 64000 km. Data yang pernah diambil sebelumnya pada tahun 1980-an dan 1990-an menunjukan ion yang lepas bergerak semakin cepat pada ketinggian yang lebih tinggi. Dengan demikian diperkirakan ada semacam mekanisme percepatan yang terlibat dan beberapa kemungkinan yang terjadi yang menyebabkan terjadinya perubahan. Dengan data dari Cluster, mekanisme yang berperan dalam sebagian besar proses percepatan bisa diidentifikasi.
Saat ini, lepasnya oksigen dari Bumi bukanlah hal yang harus dikawatirkan. Karena jika dibandingkan dnegan persediaan gas yang mendukung kehidupan di Bumi, jumlah yang lepas tersebut bisa dikatakan sangat kecil. Namun, di masa depan, saat Matahari memasuki masa tuanya dan semakin panas, keseimbangan akan mengalami perubahan dan kehilangan oksigen seperti saat ini akan menjadi hal yang signifikan mempengaruhi kehidupan di Bumi.
Untuk saat ini, Cluster akan terus mengumpulkan data dan memberi pencerahan baru mengenai kompleksnya area magnetik di sekeliling planet biru ini.

Bintang Kaya Logam, Induk Bagi Planet Batuan


Berdasarkan data dari Teleskop Angkasa Kepler, maka astronom yang akan berburu planet batuan harus fokus pada bintang lebih kecil yang memiliki kelimpahan logam.
Hasil penemuan terbaru mengungkapkan kalau planet batuan seperti halnya planet raksasa lebih mungkin untuk ditemukan pada bintang dengan kandungan logam yang tinggi. Selain itu planet batuan juga lebih banyak terdapat di sekitar bintang bermassa rendah.
Hubungan Bintang dan Planet Gas

Ilustrasi planet Kepler 10b. Kredit : NASA
Kevin Schlaufman dan Gregory Laughlin dari University of California di Santa Cruz mempelajari 997 bintang yang memiliki kandidat planet di orbitnya dan keduanya menemukan kalau planet besar maupun kecil lebih sering ditemukan di sekitar bintang yang memiliki kelimpahan logam lebih banyak. Logam yang dimaksudkan disini adalah unsur lain selain hidrogen dan helium. Bintang dengan logam yang tinggi mengandung unsur lain dengan jumlah yang signifikan. Logam tersebut terbentuk pertama kalinya bersama bintang yang memiliki komposisi gas hidrogen dan helium mati dalam ledakan supernova dan melontarkan isinya ke ruang angkasa.
Tidak mengherankan jika planet cenderung ditemukan disekitar bintang yang memiliki lebih banyak logam. Hal ini karena planet terbentuk dari materi yang sama dengan sang bintang induk.
Bintang terbentuk dari kompresi gravitasi gas dan debu, sedangkan planet terbentuk dari sisa materi pembentukan bintang yang ada dalam piringan yang mengelilingi bintang.
Sebelum Kepler, para astronom sudah menyelidiki kemungkinan dimana planet gas raksasa ditemukan. Dan mereka memang menemukan adanya keterkaitan antara keberadaan gas raksasa dan bintang yang kaya logam. Tapi, kondisi yang sama belum diterapkan pada planet batuan karena pada saat itu baru beberapa planet batuan yang ditemukan.
Menantikan Satu Siklus Bintang
Semua berubah di bulan Februari ketika NASA mengumumkan penemuan 68 kandidat planet seukuran Bumi dan 288 super Bumi. Tambang planet yang baru ini jelas akan memperkaya pemahaman manusia dan jumlah yang ada juga cukup untuk bisa dianalisa korelasi apa yang dimiliki oleh planet bermassa rendah dan tipe bintang yang dihuni.
Semua tipe planet tampaknya berada pada bintang dengan tingkat kandungan logam yang tinggi. Akibatnya agak sulit untuk menentukan kapan pertama kali planet terbentuk di galaksi. Selain itu mereka juga harus menunggu sampai bintang generasi pertama melalui masa hidupnya dan meledak sehingga bisa menyediakan bahan logam yang cukup untuk pembentukan planet. Satu siklus hidup  bintang akan membentuk lebih banyak logam, sehingga planet juga lebih mudah berkoalisi.  Proses tersebut akan memakan waktu beberapa milyar tahun. Karena itu, planet dan juga kehidupan di dalamnya tidak akan terbentuk pada masa awal alam semesta.
Selain hubungan dengn komposisi Bintang, Schlaufman dan Laughlin juga menemukan kalau planet kebumian lebih banyak ditemukan di bintang bermassa rendah. Alasannya sederhana : planet gas raksasa membutuhka lebih banyak massa untuk terbentuk.
Piringan debu di sekeliling bintang yang besar akan lebih sering membentuk planet masif sedangkan bintang yang lebih kecil dan piringannya akan cenderung membentuk planet yang kurang masif dalam hal ini, planet batuan.
Bintang dan Potensi Kehidupan
Selain meneliti hubungan keberadaan planet batuan dengan tipe bintang baik komposisi maupun massa bintang, Schlaufman juga memberi pejabaran hubungan potensi kehidupan di planet dan tipe bintang.
Bintang yang leih masif dari Matahari hanya akan menjalani hidup selama beberapa milyar tahun sementara bintang yang lebih kecil memiliki masa hidup yang lebih panjang. Kondisi pada bintang yang lebih kecil ini memungkinkan planet untuk membentuk kehidupan di dalamnya dan kemudian membiarkan kehidupan itu berevolusi membentuk peradaban yang lebih tinggi sebelum kematian bintang induknya.
Kejanggalan lainnya dalam hal mencari kehidupan lain mungkin akan muncul dengan semakin banyaknya planet yang ditemukan, terutama planet batuan seperti Bumi. Konfirmasi dari  diberikan Keppler yang menunjukkan kalau planet batuan lebih sering terbentuk di bintang dengan kandungan logam tinggi jelas akan sangat membantu pencarian tersebut

Sabtu, 01 Oktober 2011

Merah vs Biru


Ruang Angkasa adalah tempat yang berwarna warni! Contohnya, foto cantik dari gugus bintang terang yang dikelilingi awan gas berwarna biru dan merah.
NGC 2011 di Awan Magellan Besar. Kredit : ESO
Terpisahrnya kedua warna itu tampak seperti ada perlombaan antara merah dan biru. Di sudut merah, terdapat sebagian besar gas yang menyusun Matahari : gas hidrogen! Dan di sudut bitru, ada  si jago O yang kita butuhkan untuk bernafas : gas oksigen!
Mengapa gas tersebut terpisah jadi dua kelompok? Semua itu bermuara dari berapa banyak gas yang dipanaskan oleh bintang – tapi bukan oleh bintang dalam gugus bintang yang ditunjukkan disini. Ada gugus bintang lainnya di di luar dan tampak di tepi kanan bagian tengah foto, yang terdiri dari bintang-bintang muda dan panas.
Bintang muda yang panas dari gugus bintang tetangga itu cukup kuat untuk membuat gas oksigen di dekat mereka bersinar (pada bagian atas foto). Tapi semakin jauh dari gugus, bintang yang ada di gugus itu tidak dapat memanaskan oksigen untuk membuat mereka bersinar.  Hanya hidrogen yang bersinar di bagian bawah foto, karena mereka membutuhkan energi yang lebih sedikit untuk membuat dirinya bersinar dibanding oksigen.
Jadi, gas tidak benar-benar terpisah menjadi dua tim. Hidrogen dan oksigen sebenarnya berbaur, tapi gas apa yang kita lihat bersinar tergantung oleh seberapa dekat ia dengan bintang yang panas.
Fakta Menarik : Dua per tiga tubuh manusia tersusun oleh oksigen.

Kilatan Cahaya dari Masa Lalu


Ada satu hal yang bisa dilakukan oleh astronom dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Astronom bisa melihat ke masa lalu ketika alam semesta masih muda. Tapi tidak seperti di film-film dimana seseorang harus memiliki mesin waktu untuk menjelajah waktu. Para astronom tidak membutuhkan mesin waktu. Yang dibutuhkan hanya teleskop canggih yang bisa melihat benda yang sangat jauh di alam semesta.
Mengapa demikian? Ketika kita melihat benda di angkasa, kita sedang melihat ke masa lalu!.
Cahaya bergerak lebih cepat dari apapun di alam semesta. Meskipun demikian cahaya tetap butuh waktu untuk bergerak melintasi angkasa. Sebagai contoh, cahaya dari Matahari membutuhkan waktu 8 menit untuk bergerak dari Matahari ke Bumi.  Bagaimanapun Matahari berada cukup dekat dengan Bumi. Tapi untuk benda yang jauh di kosmos seperti bintang atau galaksi maka cahaya dari benda-benda tersebut membutuhkan waktu jutaan bahkan milyaran tahun untuk sampai ke Bumi. Jadi ketika kita melihat benda tersebut, sama seperti kita sedang melihat benda itu jutaan atau milyaran tahun lalu!
Ilustrasi quasar, benda langit yang sangat jauh dari masa lalu. Kredit ESO
Astronom mencari benda jauh di kosmos karena benda-benda (bintang, galaksi) itu bisa memberi informasi bagaimana sebenarnya alam semesta ketika masih muda. Cotohnya Quasar, galaksi spesial yang berada sangat jauh yang ketika kita melihatnya maka kita sedang melihat alam semesta ketika masih bayi. Quasar juga sangat terang laksana 100 galaksi normal digabung jadi satu. Karena kecerlangan quasar itulah maka para astronom bisa melihat galaksi jauh dengan teleskop. Tapi karena lokasinya sangat jauh, astronom hanya bisa melihat galaksi jauh tersebut sebagai sebuah titik cahaya dalam foto.
Saat ini, para astronom telah berhasil menemukan quasar yang paling jauh dibanding yang sudah pernah ditemukan. Cahaya quasar ini datang dari waktu 13 milyar tahun lalu.  Para astronom melakukan pencarian dengan seksama untuk bisa menemukan galaksi paling jauh tersebut. Dan semua usaha tidak sia-sia karena mereka berhasil menyingkap sebagian misteri dari alam semesta dini (alam semesta ketika masih bayi).
Tahukah kamu? Ketika kamu meihat ke angkasa, bisa saja kamu sedang melihat bintang yang sebenarnya sudah tidak ada! Kita bisa melihat bintang itu karena kita baru saja menerima cahaya yang berkelana dari bintang tersebut di masa lalu dan baru tiba sekarang.

Sepasang Lubang Hitam Yang Tersembunyi


Atmosfer Bumi selalu jadi pelindung bagi manusia di dalamnya. Ia menghalangi masuknya radiasi dari luar angkasa seperti sinar-X agar tidak mencapai Bumi. Bagus bukan? Tanpa atmosfer, manusia tidak akan bisa selamat! Tapi, para astronom senang sekali mempelajari radiasi karena bisa memberikan informasi yang sangat berguna tentang sebuah benda di alam semesta seperti bintang dan galaksi. Apa yag mereka lakukan?
Foto sinar-X dari NGC 3393 yang memiliki sepasang lubang hitam. Kredit: NASA/CXC/SAO/G.Fabbiano
Para astronom meluncurkan beberapa teleskop ke luar angkasa, tepatnya ke luar dari lapisan atmosfer yang melindungi Bumi. Salah satu teleskop itu adalah Chandra X-ray Observatory, yang dibuat untuk mendeteksi radiasi sinar-X yang melintas alam semesta. Informasi yang dikumpulkan oleh teleskop kemudian diteruskan kepada astronom di Bumi untuk dipelajari dan kemudian dibuat foto yang indah, seperti foto sinar-X yang ada di atas.
Dengan menggunakan Chandra X-ray Observatory, para astronom membuat sebuah penemuan luar biasa. Tidak hanya satu tapi ia menemukan 2 obyek luar biasa di pusat galaksi dekat. Kedua obyek itu memiliki banyak sekali materi yang dikemas ke dalam satu area kecil yang bahkan cahaya pun tidak bisa lepas dari tarikan gravitasinya! Obyek ini disebut lubang hitam super masif.
Para astronom yang menemukan kedua lubang hitam itu sangat terkejut melihat betapa dekatnya kedua galaksi itu dengan Bima Sakti. Kalau kata astronom Pepi Fabiano, “Kedua galaksi itu ada depan batang hidung kita dan ini membuat kita berpikir ada berapa banyak pasangan lubang hitam yang hilang?”.
Tapi… harus diingat definisi dekat oleh para astronom bukan berarti benar-benar dekat seperti rumah tetangga sebelah rumah.  Jaraknya 160 juta tahun cahaya.
Fakta Menarik : Dengan ukuran panjang 14 meter, Chandra X-ray Observatory milik NASA merupakan teleskop terbesar yang pernah diluncurkan ke angkasa!

Menonaktifkan Jubah Tembus Pandang


Ambil waktu beberapa saat untuk melihat detil yang ada di foto bayi bintang yang berada di dalam awan gas yang berkilau di bawah ini. Apakah kamu sudah melihat semuanya dari dekat? Sesungguhnya, ini adalah pertanyaan menjebak karena di foto itu ada obyek yang tidak terlihat!
Nebula Lambda Centaury yang berada di rasi centaurus pada jarak 6500 tahun cahaya. kredit : ESO
Apakah kamu melihat tanda hitam di sudut kanan atas foto? Di area itu, awan gas tidak dapat difoto karena ada awan gelap bernama “Bok Globules” (Bola Bok) yang menghalangi pandangan.  Bola Bok ini menyerap cahaya dari awan gas terang di belakanganya dan menciptakan ilusi seakan-akan disana tidak ada apapun.
Sama seperti bayi bintang yang tampak bersinar terang di foto, Bola Bok juga punya bintang yang baru lahir dan tersembunyi di dalamnya. Mengapa tersembunyi? Ini karena gas dan debu yang ada di dalam Bola Bok sangat rapat dan menjadi jubah gaib yang menyembunyikan bintang-bintang tersebut. Ingat jubah tembus pandang milik Harry Potter? Seperti itulah gas dan debu di Bola Bok.
Jubah tembus pandang di Bola Bok itu juga punya kelemahan. Ia gagal menjadi jubah yang menyembunyikan bintang di dalamnya ketika astronom melihat Bola Bok menggunakan teleskop khusus yang bisa mendeteksi cahaya inframerah.  Mata manusia memang tidak bisa meihat cahaya inframerah, tapi tiap hari kita menggunakannya di rumah untuk mengganti saluran TV dengan pengendali jarak jauh. Sinar inframerah ini juga bisa menembus debu di dalam Bola Bok.
Jadi, meskipun debu di Bola Bok sudah melakukan yang terbaik untuk merahasiakan keberadaan sebagian bintang, jubah tembus pandangnya bukan lawan sepadan untuk teleskop inframerah yang digunakan astronom!
Fakta menarik : Astronom yang menemukan Bola Bok ini bernama Bart Bok. Ia menemukan Bola Bok di tahun 1940-an dan menduga kalau di dalam awan gelap tersebut ada bintang yang dilahirkan. Butuh waktu 50 tahun sampai idenya dapat dibuktikan menggunakan teleskop inframerah!

Planet Batuan Lahir Dari Planet Gas Raksasa?


Awal 2011,  teleskop landas angkasa Kepler mengumumkan penemuan 1200 kandidat planet baru dengan satu per empat di antaranya merupakan planet Super Bumi.
Penemuan tersebut memicu keingintahuan para astronom terkait bagaimana planet super Bumi itu bisa terbentuk.  Diduga, planet batuan terbentuk dari kegagalan pembentukan obyek gas raksasa seukuran Jupiter.
Pembentukan Planet
Planet super Bumi diduga terbentuk dari planet Jupiter yang gagal terbentuk. kredit : NASA
Bagaimana planet terbentuk? Berdasarkan teori pembentukan planet yang diterima secara umum, planet terbentuk melalui sebuah metode yang dikenal sebagai akresi inti.
Berdasarkan teori akresi, bintang yang baru terbentuk akan memiliki selubung gas dan debu. Di dalam selubung tersebut butiran-butiran debu yang ada akan saling mengikat dan menyatu untuk membentuk obyek yang lebih besar dan dikenal dengan nama planetesimal.
Planetesimal yang ada terbentuk kemudian saling bertabrakan dan bersatu membentuk kumpulan materi yang lebih besar dan lebih besar lagi. Ketika gumpalan materi yang terbentuk itu mencapai massa kritis, gravitasinya akan menarik gas yang ada di piringan di sekitarnya untuk bergabung.
Teori Penyusutan Pasang Surut
Piringan gas dan debu lokasi pembentukan planetesimal. kredit : NASA/ JPL-Caltech/ T. Pyle (SSC)
Sergei Nayakshin dari Universitas Leichester di Inggris musim panas lalu mengajukan teori lain terkait pembentukan planet.  Ia menyebutnya “tidal downsizing” (penyusutan akibat pasang surut), yang bekerja pada kecepatan yang lebih cepat.
Dalam teori penyusutan pasang surut, pertama-tama piringan gas membentuk gumpalan gas masif lebih jauh dari lokasi ditemukannya planet-planet saat ini di Tata Surya. Gumpalan ini kemudian mengalami pendinginan dan mulai berkontraksi menjadi planet yang sangat masif (~10 massa Jupiter).  Selama kontraksi, butir-butir debu akan bertumbuh ke ukuran yang besar dan kemudian runtuh ke pusat gumpalan gas membentuk inti padat yang masif – protoplanet batuan yang sangat masif dalam kepompong gas.
Setelah inti terbentuk, ia akan mulai membentuk atmosfer di sekelilingnya dan didominasi oleh hidrogen tapi juga lebih kaya senyawa kimia dibanding materi debu primordial.  Semakin masif inti batuan planet yang terbentuk, atmosfer di sekelilingnya juga semakin masif dan terus bertumbuh seiring waktu. Dalam suatu rentang waktu perpaduan tersebut akan menghasilkan planet gas raksasa dengan inti padat di dalamnya dan membentuk super-Jupiter.
Setelah super-Jupiter terbentuk, piringan disekelilingnya akan mendorong si planet mendekati bintang dan pada saat itu lapisan terluar yang berupa selubung gas akan mulai terganggu dan kemudian dilahap oleh bintang induknya.
Jika menilik teori yang diajukan Nayakshin, planet super-Bumi dan planet batuan lainnya merupakan inti dari proto-planet masif yang tidak sempat berkembang dan sebagian besar gasnya  dikonsumsi bintang induk. Inti batuan dan atmosfer dekat bisa selamat dari proses makan-memakan dari si bintang induk karena memiliki kerapatan lebih tinggi.
Inti yang tersisa tersebut merupakan planet batuan dengan massa dari 0 – 10 massa Bumi. Dengan demikian, si planet batuan yang masif ini bisa berada dekat dengan bintang inti atau lebih jauh lagi di area yang dikenal sebagai area laik huni.
Zona laik huni merupakan area di sekitar bintang yang dapat mempertahankan air di permukaan planet tetap dalam wujud cair. Planet yang berada di wiayah tersebut diyakini memiliki kemampuan untuk mempertahankan kehidupan jika ada kehidupan yang tumbuh di dalamnya,
Penyusutan Pasang Surut di antara teori lainnya
Aaron Boley dari Universitas Florida yang melakukan penelitian mengenai pembentukan planet gas raksasa dan evolusi piringan pembentukan planet juga melakukan penelitian terkait teori serupa dengan Nayakshin.
Menurut Aaron Boley, jika planet terbentuk menurut teori gangguan pasang surut, planet juga akan dapat terbentuk dalam sistem yang tidak cocok dengan mekanisme akresi seperti misalnya pada piringan dengan sejumlah kecil debu.  Ia meyakini kalau pembentukan planet itu melibatkan juga akresi yang memulai terbentuknya planet dan gangguan pasang surut yang mempengaruhi evolusinya. Menurut Boley, gangguan pasang surut menyebabkan planet bisa mendukung evolusi kehidupan di berbagai sistem bintang. Itu adalah salah satu cara alam untuk membentuk planet. Semakin banyak planet artinya semakin banyak kesempatan bagi kehidupan untuk tumbuh dan berkembang.
Sebagai teori baru, Nayakshin menyadari masih banyak detil perhitungan yang harus dilakukan. Karena itu ia membutuhkan bantuan dari astronom lainnya untuk menguji teorinya.  Teori yang diajukan Nayakshin juga merupakan tantangan bagi teori pembentukan planet dari ketidakstabilan gravitasi.
Teori ketidakstabilan gravitasi memperkenankan terjadinya pembentukan planetesimal dalam waktu yang sangat cepat pada jarak yang jauh dari bintang. Masalahnya, teori ini tidak dapat mengijinkan terjadinya migrasi planet ke dalam. Artinya, ia tidak dapat menjelaskan keberadaan planet-planet dekat yang ditemukan saat ini.
Model penyusutan pasang surut dan akresi inti merupakan dua mekanisme yang bisa membentuk berbagai macam planet dan bisa terjadi pada tahap yang berbeda di sepanjang masa hidup piringan proto-planet dan tidak eksklusif.
Model akresi inti mengalami masa sulit terkait pembentukan planet di orbit jauh dalam rentang waktu panjang.  Ketidakstabilan gravitasi akan menyebabkan planet-planet itu keluar dan mereka akan tetap diluar kecuali planet-planet itu bermigrasi ke dalam. Dengan teori penyusutan pasang surut planet-planet yang terbentuk jauh akan segera bermigrasi agar selubungnya bisa dikonsumsi oleh pasang surut si bintang menyisakan planet batuan.
Tapi untuk bisa diterima, teori penyusutan pasang surut akan melewati pengujian panjang dan harus bisa menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dan harus berhadapan dengan teori lainnya.