Jumat, 30 September 2011

Nama-Nama Indonesia pun Tertera di Angkasa


Planet minor adalah istilah yang digunakan untuk obyek langit non planet atau komet yang mengitari Matahari.  Planet minor pertama yang ditemukan adalah Ceres pada tahun 1801 yang kemudian dikenal juga sebagai planet katai setelah IAU melakukan redenefinisi terhadap klasifikasi planet di tahun 2006.
Sampai dengan Desember 2010, sudah 257.455 planet minor yang sudah diberi nomor identifikasi / kodifikasi dari 535000 lebih planet minor yang sudah ditemukan. Dan dari 257.455 planet minor itu  baru sekitar 16154 planet minor yang sudah memiliki nama resmi.  Di antara ribuan nama tersebut, beberapa di antaranya memiliki nama Indonesia, yang diberikan sebagai penghargaan ataupun pengingat akan suatu tempat dan kejadian.

Nama Asteroid Berdasarkan Nama Mantan Kepala Observatorium Bosscha


Observatorium Bosscha. kredit : ivie
Yang terbaru, pada bulan November 2010, IAU memberikan 4 nama Indonesia sebagai nama 4 asteroid yang berada di Sabuk Utama Asteroid. Keempat nama tersebut merupakan nama-nama mantan kepala Observatorium Bosscha yang diberikan oleh IAU sebagai penghargaan kepada Observatorium Bosscha yang merupakan observatorium di Indonesia sekaligus yang memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan astronomi di langit selatan.
Keempat nama tersebut diberikan pada 4 asteroid yang ditemukan oleh suami istri Cornelis Johannes van Houten dan Ingrid van Houten-Groeneveld yang melakukan analisa dari plat fotografi yang diambil oleh Tom Gehrels tanggal 16 Oktober 1977 dalam Palomar – Leiden Trojan Survey. Penemuan asteroid – asteroid tersebut dilakukan dengan menggunakan teleskop Schmidt 122cm  di Observatorium Palomar. Dalam pengamatan tersebut, pemotretan dilakukan dengan menggunakan 68 plat untuk melakukan survei trojan di antara Mars- Jupiter. Di antara planet minor yang ditemukan, 4 asteroid yang diberi nama berdasarkan nama mantan kepala Observatorium Bosscha adalah :
12176 Hidayat / 3468 T-3 
Bambang Hidayat promotor astronomi di Indonesia. Ia dikenal dalam pekerjaannya di bidang bintang ganda tampak dan bintang dengan garis emisi H. Ia juga menjadi direktur Observatorium Bosscha di Lembang dari 1968 – 1999 dan menjadi Wakil Presiden IAU dari 1994 – 2000.

Asteroid 12176 Hidayat. Kredit : NASA
12177 Raharto  / 4074 T-3.
Diambil dari nama Moedji Raharto, seorang astronom Indonesia sekaligus dosen senior di Astronomi ITB. Ia pernah menjabat sebagai kepala Observatorium Bosscha dari tahun 1999 – 2004. Moedji bekerja dalam bidang Struktur Galaksi berdasarkan katalog Hipparcos dan IRAS-Point Source catalogue.

Asteroid 12177 Raharto. Kredit : NASA
12178 Dhani / 4304 T-3
Diambil dari nama astronom dan ahli Fisika Matahari Indonesia Dhani Herdiwijaya yang juga pernah menjabat sebagai direktur Observatorium Bosscha pada tahun 2004- -2006. Ia dikenal dengan pekerjaannya dalam hal bintang ganda, aktivitas magnetik Matahari dan kaitannya dengan cuaca dan iklim.

Asteroid 12178 Dhani. Kredit : NASA
12179 Taufiq / 5030 T-3
Dinamakan berdasarkan nama Taufiq Hidayat yang pernah menjabat sebagai Kepala Observatorium Bosscha pada tahun 2006 – 2010. ia dikenal untuk pekerjaannya dalam bidang Tata Surya dan transit Extrasolar serta aktif menentang efek urbanisasi di sekeliling Observatorium Bosscha. Atau dengan kata lain problematika pembangunan di sekeliling Bosscha yang mengancam keberadaan Bosscha sebagai observatorium penelitian.

Asteroid 12179 Taufiq. Kredit : NASA
Selain ke-4 nama tersebut, sebelumnya sudah ada beberapa nama mantan kepala Bosscha yang juga diabadikan sebagai nama asteroid yakni :
2019 van Albada / 1935 SX1 
Asteroid ini ditemukan tanggal 28 September 1935 oleh H. van Gent seorang astronom Belanda yang melakukan pengamatan dari Leiden Southern Station dan the Union Observatory di Johannesburg Afrika Selatan. Dinamakan berdasarkan nama Gale Bruno van Albada yang menjadi kepala Observatorium Bosscha pada bulan  Mei 1949 s.d Juli 1958. Van Albada sendiri merupakan perintis pendidikan astronomi di Indonesia dan diangkat sebagai guru besar astronomi ITB pada tahun 1951.

5408 Thé / 1232 T-1

Dianamakan berdasarkan nama Thé Pik Sin, yang menjabat sebagai kepala Observatorium Bosscha dari 1959 -1968. Asteroid ini ditemukan oleh Cornelis Johannes van Houten, Ingrid van Houten-Groeneveld dan, Tom Gehrels pada 25 Maret 1971 dari pengamatan di Observatorium Palomar. Nama Thé diberikan sebagai penghargaan pada Thé Pik Sin pada ulang tahunnya yang ke-65.

Nama Asteroid Berdasarkan Kontribusi dari dan untuk Astronomi Indonesia

Selain nama-nama tersebut ada beberapa nama yang juga diberikan oleh IAU pada nama planet minor sebagai penghargaan atas kontribusi mereka dalam astronomi dari Hindia Belanda atau Indonesia, yakni :
5494 Johanmohr / 1933 UM1
Ditemukan pada tahun 1933 oleh Karl Wilhelm Reinmuth di Heidelberg dan diberi nama johanmohr sebagai penghargaan atas kesuksesan kontribusi Pendeta Johan Maurits Mohr (1716-1775) dalam pengamatan astronomi dan meteorologi. Termasuk di dalamnya pengamatan okultasi Venus di Batavia pada tahun 1761 dan 1769 dari observatorium pribadinya di Molenvliet, Batavia, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
2378 Pannekoek / 1935CY
Dinamakan beradasarkan nama astronom Belanda Antonie Pannekoek dan ditemukan oleh H. van Gent tanggal 13 Februari 1935 di Johannesburg (LS). Pannekoek merupakan pembimbing dari G.B. van Albada dan memiliki peran yang besar bagi astronomi di Indonesia.

10966 van der Hucht / 3308 T-1

Ditemukan 26 Maret 1971 oleh C. J. van Houten, I. van Houten-Groeneveld dan T. Gehrels. Karel A. van der Hucht adalah astronom di Space Reserach Center Utrecht dan bekerja aktif dalam kajian bintang Wolf-Rayet dan menyusun Catalogue of Galactic Wolf-Rayet Stars.  Saat ini ia menjabat sebagai penasehat dalam Komite Eksekutif IAU.
11431 Karelbosscha / 4843 T-1
Ditemukan pada tanggal 13 Mei 1971 oleh pasangan suami istri C. J. van Houten dan I. van Houten-Groeneveld di Leiden berdasarkan plat foto obyek planet minor yang diambil oleh T. Gehrels di Palomar Observatory. Asteroid ini dinamakan berdasarkan nama Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928), seorang pengusaha kebun teh Belanda di Malabar, Jawa Barat yang bersama-sama dengan keponakannya Rudolf Albert Kerkhoven memberikan kontribusi besar pada pembangunan observatorium di Lembang.  Di Indonesia, nama Bosscha selain digunakan sebagai nama observatorium juga digunakan pada nama salah satu ruang kuliah di Program Studi Fisika. Selain itu, Bosscha dan Kerkhoven dalam kaitanLeids Kerkhoven-Bossca Fonds masih memberikan bantuan bagi kelangsungan riset astronomi di Indonesia.
11432 Kerkhoven / 1052 T-2
Ditemukan tanggal 29 September 1973 oleh pasangan suami istri C. J. van Houten dan I. van Houten-Groeneveld di Leiden berdasarkan plat foto obyek planet minor yang diambil oleh T. Gehrels di Palomar Observatory. Rudolf Albert Kerkhoven (1879 – 1940) merupakan salah seorang tokoh Belanda yang memberikan kontribusi bagi pendirian dan keberlangsungan Observatorium bosscha di Lembang bersama sang paman Karel Albert Rudolf Bosscha. Warisannya sampai saat ini masih mendukung riset Astronomi di Indonesia dan Belanda di bawah bendera Leids kerkhoven-Bossca Fonds, yang memberikan bantuan dana bagi kebutuhan riset dan pendidikan astronomi di Indonesia.
Nama asteroid berdasarkan nama tempat di Indonesia maupun yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia adalah :
536 Merapi / 1904 OF
Ditemukan 11 Mei 1904 oleh G. H. Peters di Washington dan dinamai berdasarkan nama gunung Merapi / Marapi Sumatera Barat yang merupakan situs ekspedisi dari US Naval Observatory dan beberapa ekspedisi lainnya saat melakukan pengamatan gerhana Matahari tanggal 17 Mei 1901. Gunung ini mengeluarkan asap secara kontinyu / terus menerus dan namanya sendiri berarti “with fire / dengan api”. Nama Merapi diajukan oleh penemu asteroid 536 Merapi yang juga salah satu anggota ekspedisi Gerhana Matahari di Sumatera.
731 Sorga / 1912 OQ
Ditemukan 15 April 1912 oleh A. Massinger di Heidelberg dan dinamai Sorga yang berasal dari bahasa Indonesia Surga. Surga di Bumi disebut juga Surga dunia.
732 Tjilaki / 1912 OR
Ditemukan 15 April 1912 oleh A. Massinger di Heidelberg dan dinamai Tjilaki / Cilaki dari nama sungai dan desa Tjilaki / Cilaki yang berasal dari gunung Malabar. Tji artinya sungai.
754 Malabar / 1906 UT
Ditemukan 22 Agustus 1906 oleh August Kopff di Heidelberg. Dinamakan berdasar nama pegununungan Malabar di  Daerah Malabar yang terkenal sebagai perkebunan teh. Nama ini diambil untuk mengenang ekspedisi Gerhana Matahari yang dilakukan oleh belanda dan Jerman ke Kepulauan Christmas tahun 1922.
770 Bali / 1913 TE
Ditemukan 31 Oktober 1913 oleh A. Massinger di Heidelberg. Nama Bali merupakan nama daerah di Indonesia yang mayoritas beragama Hindu. Bali dalam nama asteroid ini didedikasikan pada nama Raja klan Daityas dalam Puranas Hindu.
772 Tanete / 1913 TR
Ditemukan 19 Desember 1913 oleh A. Massinger di Heidelberg dan dinamakan Tanete berdasarkan nama tempat di Sulawesi, Indonesia.
863 Benkoela / 1917 BH
Ditemukan 9 Februari 1917 oleh M. Wolf di Heidelberg dan dinamakan Benkoela dan diperkirakan nama tersebut merupakan nama kota Benkoelen (Bengkulu) yang ada di Sumatera, Indonesia.
2307 Garuda / 1957 HJ
Asteroid di Sabuk Utama Asteroid yang ditemukan pada tanggal 18 April 1957 di Observatorium La Plata.  Diyakini nama ini sebenarnya terkait dengan nama India. Garuda yang diajukan sebagai nama asteroid 1957 HJ berasal dari Bahasa Sansekerta dan merupakan putra Kasyapa dan Vinata dalam mitologi India.
7172 Multatuli / 1988 DE2
Ditemukan 17 februari 1988 oleh E. W. Elst di European Southern Observatory. Dinamai dengan nama penulis terkenal dari Belanda, Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Di tahun 1838, Multatuli datang di Hindia Belanda dan di tahun 1856 ia mengundurkan diri dari posisi Assistant Commissioner of Lebak Java karena tidak adanya dukungan oleh pemerintah (Belanda -red) dalam perjuangannya untuk melindungi orang jawa dari eksploitasi majikan mereka. Ia kemudian kembali ke eropa dan dikenal secara internasional karena novelnya Max Havelaar (1860) yang kemudian membawa Multatuli untuk melakukan pembelaan dan menuntut keadilan di Jawa dan menyindir mental bangsa Belanda kelas menengah. Nama Multatuli diajukan oleh sang penemu asteroid dan didukung oleh C.F. Merks dan J. Meeus.
Penamaan Asteroid sendiri membutuhkan waktu panjang karena pada awal ditemukan ia hanya diberi kode khusus dan diberi nomer jika orbitnya diketahui dengan baik. Pengajuan nama yang dilakukan oleh si penemu akan dibahas oleh IAU dan disetujui dahulu sebelum diberi nama yang resmi.

Teleskop Sinar-X : Membuka Pandangan Baru Dalam Astronomi


Setiap saat, Bumi kita dibombardir dengan berbagai macam radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek-objek langit, mulai dari sinar radio yg berenergi rendah hingga sinar gamma yg berenergi tinggi. Akan tetapi, dengan keberadaan atmosfer Bumi, hanya sinar radio dan sinar tampak (visual) yang mencapai permukaan Bumi. Sementara, sinar-sinar yang lain hanya mampu menembus hingga ketinggian tertentu.
Kedalaman berbagai radiasi elektromagnetik dalam menembus atmosfer Bumi. Hanya sinar tampak dan radio yang mampu menembus hingga ke permukaan Bumi.
Hal tersebut merupakan keberuntungan bagi manusia karena atmosfer melindungi manusia dari radiasi-radiasi energi tinggi. Akan tetapi, bagi para astronom, kenyataan tersebut mungkin justru menjadi sebuah kekurangberuntungan. Dalam dunia astronomi, segala bentuk radiasi yang dipancarkan oleh objek langit (walau hanya sedikit) sangatlah berarti. Oleh karena itu, keberadaan atmosfer membuat tidak semua cahaya/radiasi dapat diamati oleh astronom dengan menggunakan teleskop yang ada di permukaan bumi (ground based telescope). Untuk menyiasati hal tersebut maka dikembangkanlah teleskop-teleskop yang ditempatkan di luar bumi (space based telescope), salah satu contohnya adalah teleskop Chandra. Sebagian besar teleskop berbasis luar angkasa dibangun berdasarkan jenis radiasi/panjang gelombang yang ingin diamati. Ambil contoh teleskop Chandra. Teleskop ini diluncurkan untuk mengamati objek langit pada panjang gelombang sinar-x. Contoh lain, teleskop IRAS yang dibangun untuk panjang gelombang inframerah.
Studi obyek langit pada rentang panjang gelombang selain radio dan sinar tampak sangat penting. Dengan mengamati obyek langit dari berbagai panjang gelombang, kini manusia mampu melihat alam semesta ini dari berbagai macam dunia: dunia yg tampak oleh mata kita, dunia yg tampak oleh mata ular, ataupun dunia yg tampak oleh mata lumba-lumba. Di dalam tiap2 dunia tersebut, informasi yang diperoleh pun bisa berbeda-beda yang pada akhirnya saling menyempurnakan satu sama lain.
Teleskop Sinar-X
Sejarah mengenai teleskop sinar-x dimulai sekitar awal tahun 1960-an. Saat itu para ilmuwan menggunakan roket untuk membawa peralatan canggih ke atas atmosfer bumi. Usaha ini membuahkan hasil pada tahun 1962 ketika roket yang diluncurkan oleh sebuah group di American Science and Engineering (AS&E)  untuk pertama kalinya mendeteksi sebuah objek pemancar sinar-x pada rasi bintang Scorpius yang kemudian diberi nama Scorpius X-1. Setelah bereksperimen menggunakan roket, wahana teleskop sinar-x pertama yang mengorbit Bumi baru diluncurkan pada tahun 1970-an (Uhuru, SAS 3, Ariel 5). Lalu, pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an mulai diluncurkan wahana yang lebih besar (HEAD-1, Einstein, EXOSAT, dan Ginga). Jika wahana-wahana sebelum tahun 1990 hanya mampu mendeteksi keberadaan sumber sinar-x, maka wahana-wahana yang dibangun pada tahun 1990-an juga mampu mengambil spektrum mereka (ASCA), dan mempelajari parameter waktunya (RXTE). Kini telah diluncurkan wahana dengan resolusi lebih tinggi, yaitu Chandra & XMM Newton (1999) serta Suzaku/Astro E-2 (2005). Keberadaan wahana-wahana tersebut memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan dunia astronomi. Salah satunya adalah kita bisa mengetahui bahwa hampir semua objek langit memancarkan sinar-X, mulai dari komet yang dekat hingga quasar yang sangat jauh. Tentu hal ini memberikan pandangan baru dan menarik dalam mengeksplorasi dunia astronomi pada umumnya dan astrofisika energi tinggi pada khususnya.
Gambar 2. Bentuk cermin teleskop Chandra yang terdiri atas empat pasang cermin yang berbentuk silinder. Cermin Chandra ini termasuk tipe I Wolter.
Lalu ,seperti apakah teleskop sinar-x yang kini sedang mengorbit bumi kita? Tidak seperti cermin untuk teleskop optik yang dibuat berbentuk seperti piring, cermin teleskop sinar-X dibuat lebih seperti tabung-tabung kaca. Hal ini disebabkan foton sinar-X yang memiliki energi tinggi bersifat seperti peluru. Jika peluru ditembakkan tegak lurus terhadap dinding, maka peluru tersebut langsung menembus dinding. Sedangkan, jika peluru ditembakkan hampir sejajar dengan dinding, maka peluru tersebut akan dipantulkan. Hal yang demikian juga berlaku pada foton sinar-X. Oleh karena itu cermin teleskop sinar-X harus diposisikan hampir sejajar dengan foton sinar-X yang datang dan permukaannya dibuat sangat halus. Sedemikian halusnya, sehingga jika permukaan pulau Jawa diperhalus, maka Gunung Semeru hanya setinggi kurang lebih 2 cm (untuk kasus cermin Chandra).
Gambar 3. Ketiga tipe Wolter untuk teleskop sinar-x.
Fisikawan asal Jerman, Hans Wolter, mendeskripsikan tiga tipe konfigurasi yang berbeda untuk teleskop sinar-X seperti yang terlihat pada gambar 1. Setiap tipe membutuhkan 2 jenis cermin yang ditempatkan berbeda-beda. Pada tipe I, kedua cermin yang digunakan adalah cermin hiperboloid dan paraboloid, dengan kedua cermin ditempatkan bersampingan dengan cermin hiperboloid, yang berada di bagian luar. Sedangkan tipe II juga menggunakan dua jenis cermin yang sama dengan tipe I, tetapi posisi cermin paraboloid ditempatkan agak di depan cermin hiperboloid. Dengan posisi yang hampir sama (namun posisi cermin paraboloid lebih ke arah luar), tipe III membutuhkan cermin ellipsoid untuk menggantikan posisi cermin hiperboloid. Dari ketiga tipe tersebut, konfigurasi tipe I merupakan konfigurasi mekanik yang paling sederhana sehingga sering digunakan. Selain itu, tipe I juga memiliki keuntungan untuk memungkinkan membangun beberapa teleskop di dalam teleskop yang lebih besar. Dengan begitu, area refleksi menjadi meningkat. Karena sebagian besar sumber sinar-X sangat lemah, maka menambah area refleksi akan memaksimalkan kekuatan sistem cermin dalam mengumpulkan foton.
Info apa yg bisa kita dapat dari foton-foton sinar-x tersebut? Dari citra sinar-x, kita bisa mengetahui apa yang terjadi pada obyek yang kita pelajari selain yang kita peroleh dari citra tampak. Bisa saja dari keduanya menampakkan hasil yang berbeda. Misalkan, dari citra sinar tampak pada suatu daerah hanya sedikit bintang yang terlihat, namun saat kita mengambil citra daerah tersebut dalam sinar-x, ternyata tampak lebih banyak bintang. Sedangkan dari spektrumnya, salah satu contohnya, kita bisa mencocokkan spektrum obyek yg kita pelajari dengan sebuah model. Dengan begitu, kita bisa mengetahui seperti apakah obyek tersebut, apakah ia bintang neutron atau Lubang Hitam? Selain dari citra dan spektrum kita juga bisa mendapatkan informasi dari parameter waktu, yaitu kapan foton tersebut tertangkap oleh detektor. Dari parameter waktu tsb, salah satu yg bisa kita peroleh adalah periode orbital obyek yang kita amati bila obyek tersebut mengelilingi sesuatu. Dan masih banyak lagi informasi yg bisa kita dapatkan dari pengamatan sinar-x.
Gambar 4. Citra rasi Orion diamati pada sinar tampak (kiri) dan sinar-x (kanan).
Dari pembahasan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa pengamatan dalam sinar-x masih berumur sangat muda (~47) tahun bila kita bandingakan dengan pengamatan dalam sinar tampak (~400 tahun). Oleh karena itu masih banyak hal yang bisa dieksploritasi dari bidang ini. Kemungkinan suatu model bertambah atau berubah sangat terbuka. Siapa tahu, Andalah salah seorang yang mendapat kesempatan tersebut!!!

Global Warming – Apa ? dan mengapa ?


Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal. Apa penyebabnya? Meteor jatuh? Variasi panas Matahari? Gunung meletus yang menyebabkan awan asap? Perubahan arah angin akibat perubahan struktur muka Bumi dan arus laut? Atau karena komposisi udara yang berubah? Atau sebab yang lain?
Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Apa itu gas rumah kaca?
Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.
Pada sekitar tahun 1820, bapak Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi merah-infra yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).
Tiga puluh tahun kemudian, bapak Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.
Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.
Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut, kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.
Sejak tahun 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak, dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 3°C semenjak jaman pra-industri, itu saja jika bisa menekan konsentrasi gas rumah kaca supaya stabil pada 430 ppm CO2e (ppm = part per million = per satu juta ekivalen CO2 – yang menyatakan rasio jumlah molekul gas CO2 per satu juta udara kering). Yang pasti, sejak 1900, maka Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7°C.
Lalu, jika memang terjadi pemanasan, sebagaimana disebut; yang kemudian dikenal sebagai pemanasan global, (atau dalam istilah populer bahasa Inggris, kita sebut sebagai Global Warming): Apakah merupakan fenomena alam yang tidak terhindarkan? Atau ada suatu sebab yang signfikan, sehingga menjadi ‘populer’ seperti sekarang ini? Apakah karena Al Gore dengan filmnya “An Inconvenient Truth” yang mempopulerkan global warming? Tentunya tidak sesederhana itu.
Perlu kerja-sama internasional untuk bisa mengatakan bahwa memang manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusia-lah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global (Gb.1).
Hasil perhitungan perkiraan agen pendorong terjadinya pemanasan global dan mekanismenya (kolom satu), berdasarkan pengaruh radiasi (Radiative Forcing), dalam satuan Watt/m^2, untuk sumber antropogenik dan sumber yang lain, tanda merah dan nilai positif dari kolom dua dan tiga berarti sumbangan pada pemanasan, sedangkan biru adalah efek kebalikannya. Kolom empat menyatakan dampak pada skala geografi, sedangkan kolom kelima menyatakan tingkat pemahaman ilmiah (Level of Scientific Understanding), Sumber: Laporan IPCC, 2007.
Dari gambar terlihat bahwa karbon-dioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Dari masa pra-industri yang sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Angka ini melebihi angka alamiah dari studi perubahan iklim dari masa lalu (paleoklimatologi), dimana selama 650 ribu tahun hanya terjadi peningkatan dari 180-300 ppm. Terutama dalam dasawarsa terakhir (1995-2005), tercatat peningkatan konsentrasi karbon-dioksida terbesar pertahun (1,9 ppm per tahun), jauh lebih besar dari pengukuran atmosfer pada tahun 1960, (1.4 ppm per tahun), kendati masih terdapat variasi tahun per tahun.
Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbon-dioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es). Peningkatan konsentrasi metana (CH4), dari 715 ppb (part per billion= satu per milyar) di jaman pra-industri menjadi 1732 ppb di awal 1990-an, dan 1774 pada tahun 2005. Ini melebihi angka yang berubah secara alamiah selama 650 ribu tahun (320 – 790 ppb). Sumber utama peningkatan metana pertanian dan penggunaan bahan bakar fosil. Konsentrasi nitro-oksida (N2O) dari 270 ppb – 319 ppb pada 2005. Seperti juga penyumbang emisi yang lain, sumber utamanya adalah manusia dari agrikultural. Kombinasi ketiga komponen utama tersebut menjadi penyumbang terbesar pada pemanasan global.
Kontribusi antropogenik pada aerosol (sulfat, karbon organik, karbon hitam, nitrat and debu) memberikan efek mendinginkan, tetapi efeknya masih tidak dominan dibanding terjadinya pemanasan, disamping ketidakpastian perhitungan yang masih sangat besar. Demikian juga dengan perubahan ozon troposper akibat proses kimia pembentukan ozon (nitrogen oksida, karbon monoksida dan hidrokarbon) berkontribusi pada pemanasan global. Kemampuan pemantulan cahaya Matahari (albedo), akibat perubahan permukaan Bumi dan deposisi aerosol karbon hitam dari salju, mengakibatkan perubahan yang bervariasi, dari pendinginan sampai pemanasan. Perubahan dari pancaran sinar Matahari (solar irradiance) tidaklah memberi kontribusi yang besar pada pemanasan global.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa memang manusia yang berperanan bagi nasibnya sendiri, karena pemanasan global terjadi akibat perbuatan manusia sendiri. Lalu bagaimana dampak Global Warming bagi kehidupan? Alur waktu prediksi dan dampak dari perspektif sains dapat dibaca pada bagian kedua tulisan ini.

Masa Depan Bumi Saat Matahari Berevolusi


Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini menjadi salah satu efek yang sangat signifikan dalam perubahan kondisi Bumi selama beberapa dekade dan abad ke depan. Namun, bagaimana dengan nasib Bumi jika terjadi pemanasan bertahap saat Matahari menuju masa akhir hidupnya sebagai bintang katai putih? Akankah Bumi bertahan, ataukah masa tersebut akan menjadi masa akhir kehidupan Bumi?

Bintang Raksasa Merah. Impresi artis. source : Universetoday
Milyaran tahun lagi, Matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah. Saat itu, ia akan membesar dan menelan orbit Bumi. Akankah Bumi ditelan oleh Matahari seperti halnya Venus dan Merkurius? Pertanyaan ini telah menjadi diskusi panjang di kalangan astronom. Akankah kehidupan di Bumi tetap ada saat matahari menjadi Katai Putih?
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan K.-P. Schr¨oder dan Robert Connon Smith, ketika Matahari menjadi bintang raksasa merah, ekuatornya bahkan sudah melebihi jarak Mars. Dengan demikian, seluruh planet dalam di Tata Surya akan ditelan olehnya. Akan tiba saatnya ketika peningkatan fluks Matahari juga meningkatkan temperatur rata-rata di Bumi sampai pada level yang tidak memungkinkan mekanisme biologi dan mekanisme lainnya tahan terhadap kondisi tersebut.
Saat Matahari memasuki tahap akhir evolusi kehidupannya, ia akan mengalami kehilangan massa yang besar melalui angin bintang. Dan saat Matahari bertumbuh (membesar dalam ukuran), ia akan kehilangan massa sehingga planet-planet yang mengitarinya bergerak spiral keluar. Lagi-lagi pertanyaannya bagaimana dengan Bumi? Akankah Matahari yang sedang mengembang itu mengambil alih planet-planet yang bergerak spiral, atau akankah Bumi dan bahkan Venus bisa lolos dari cengkeramannya?
Perhitungan yang dilakukan oleh K.-P Schroder dan Robert Cannon Smith menunjukan, saat Matahari menjadi bintang raksasa merah di usianya yang ke 7,59 milyar tahun, ia akan mulai mengalami kehilangan massa. Matahari pada saat itu akan mengembang dan memiliki radius 256 kali radiusnya saat ini dan massanya akan tereduksi sampai 67% dari massanya sekarang. Saat mengembang, Matahari akan menyapu Tata Surya bagian dalam dengan sangat cepat, hanya dalam 5 juta tahun. Setelah itu ia akan langsung masuk pada tahap pembakaran helium yang juga akan berlangsung dengan sangat cepat, hanya sekitar 130 juta tahun. Matahari akan terus membesar melampaui orbit Merkurius dan kemudian Venus. Nah, pada saat Matahari akan mendekati Bumi, ia akan kehilangan massa 4.9 x 1020 ton setiap tahunnya (setara dengan 8% massa Bumi).

Perjalanan evolusi Matahari sejak lahir sampai menjadi bintang katai putih.
Setelah mencapai tahap akhir sebagai raksasa merah, Matahari akan menghamburkan selubungnya dan inti Matahari akan menyusut menjadi objek seukuran Bumi yang mengandung setengah massa yang pernah dimiliki Matahari. Saat itu, Matahari sudah menjadi bintang katai putih. Bintang kompak ini pada awalnya sangat panas dengan temperatur lebih dari 100 ribu derajat namun tanpa energi nuklir, dan ia akan mendingin dengan berlalunya waktu seiring dengan sisa planet dan asteroid yang masih mengelilinginya.
Zona Laik Huni yang Baru
Saat ini Bumi berada di dalam zona habitasi / laik huni dalam Tata Surya. Zona laik huni atau habitasi merupakan area di dekat bintang di mana planet yang berada di situ memiliki air berbentuk cair di permukaannya dengan temperatur rata-rata yang mendukung adanya kehidupan. Dalam perhitungan yang dilakukan Schroder dan Smith, temperatur planet tersebut bisa menjadi sangat ekstrim dan tidak nyaman untuk kehidupan, namun syarat utama zona habitasinya adalah keberadaan air yang cair.

Terbitnya bintang raksasa merah. Impresi artis. Sumber: Jeff Bryant's Space Art.
Tak dapat dipungkiri, saat Matahari jadi Raksasa Merah, zona habitasi akan lenyap dengan cepat. Saat Matahari melampaui orbit Bumi dalam beberapa juta tahun, ia akan menguapkan lautan di Bumi dan radiasi Matahari akan memusnahkan hidrogen dari air. Saat itu Bumi tidak lagi memiliki lautan. Tetapi, suatu saat nanti, ia akan mencair kembali. Nah saat Bumi tidak lagi berada dalam area habitasi, lantas bagaimana dengan kehidupan di dalamnya? Akankah mereka bertahan atau mungkin beradaptasi dengan kondisi yang baru tersebut? Atau itulah akhir dari perjalanan kehidupan di planet Bumi?
Yang menarik, meskipun Bumi tak lagi berada dalam zona habitasi, planet-planet lain di luar Bumi akan masuk dalam zona habitasi baru milik Matahari dan mereka akan berubah menjadi planet layak huni. Zona habitasi yang baru dari Matahari akan berada pada kisaran 49,4 SA – 71,4 SA. Ini berarti areanya akan meliputi juga area Sabuk Kuiper, dan dunia es yang ada disana saat ini akan meleleh. Dengan demikian objek-objek disekitar Pluto yang tadinya mengandung es sekarang justru memiliki air dalam bentuk cairan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Bahkan bisa jadi Eris akan menumbuhkan kehidupan baru dan menjadi rumah yang baru bagi kehidupan.
Bagaimana dengan Bumi?
Apakah ini akhir perjalanan planet Bumi? Ataukah Bumi akan selamat? Berdasarkan perhitungan Schroder dan Smith Bumi tidak akan bisa menyelamatkan diri. Bahkan meskipun Bumi memperluas orbitnya 50% dari orbit yang sekarang ia tetap tidak memiliki pluang untuk selamat. Matahari yang sedang mengembang akan menelan Bumi sebelum ia mencapai batas akhir masa sebagai raksasa merah. Setelah menelan Bumi, Matahari akan mengembang 0,25 SA lagi dan masih memiliki waktu 500 ribu tahun untuk terus bertumbuh.

Matahari yang menjadi raksasa merah akan mengisi langit seperti yang tampak dari bumi. Gambar ini menunjukan topografi Bumi yang sudah meleleh menjadi lava. Tampak siluet bulan dengan latar raksasa merah. Copyright William K. Hartmann
Saat Bumi ditelan, ia akan masuk ke dalam atmosfer Matahari. Pada saat itu Bumi akan mengalami tabrakan dengan partikel-partikel gas. Orbitnya akan menyusut dan ia akan bergerak spiral kedalam. Itulah akhir dari kisah perjalanan Bumi.
Sedikit berandai-andai, bagaimana menyelamatkan Bumi? Jika Bumi berada pada jarak 1.15 SA (saat ini 1 SA) maka ia akan dapat selamat dari fasa pengembangan Matahari tersebut. Nah bagaimana bisa membawa Bumi ke posisi itu?? Meskipun terlihat seperti kisah fiksi ilmiah, namun Schroder dan Smith menyarankan agar teknologi masa depan dapat mencari cara untuk menambah kecepatan Bumi agar bisa bergerak spiral keluar dari Matahari menuju titik selamat tersebut.
Yang menarik untuk dikaji adalah, umat manusia seringkali gemar berbicara tentang masa depan Bumi milyaran tahun ke depan, padahal di depan mata, kerusakan itu sudah mulai terjadi. Bumi saat ini sudah mengalami kerusakan awal akibat ulah manusia, dan hal ini akan terus terjadi. Bisa jadi akhir perjalanan Bumi bukan disebabkan oleh evolusi matahari, tapi oleh ulah manusia itu sendiri. Tapi bisa jadi juga manusia akan menemukan caranya sendiri untuk lolos dari situasi terburuk yang akan dihadapi.

Melihat Goyangan Untuk Menemukan Planet Baru


Tata Surya terdiri dari bermacam-macam planet: ada planet batuan dan kecil seperti Bumi dan Mars di bagian dalam, ada juga planet Gas Raksasa sepert Jupiter dan Saturnus yang berada lebih jauh. Para astronom juga mencari tahu apakah ada Tata Surya lain di alam semesta yang mirip milik kita. beberapa hari lalu, para astronom itu mengumumkan penemuan 50 planet disekeliling bintang jauh dan penemuan ini juga membantu memberi jawaban atas pertanyaan para astronom.
Ilustrasi Planet Super Bumi. Kredit : ESO/M. Kornmesser
Ke-50 obyek yang disebut “exo-planet” itu ditemukan menggunakan teleskop di Amerika Selatan. Karena exoplanet berada sangat jauh, mereka terlalu kecil dan gelap untuk bisa dipotret. Karena itu, teleskop yang ingin mencari keberadaan exoplanet menggunakan trik tertentu, yaitu melihat jika bintangnya bergoyang. Kok bisa?
Kalau sebuah bintang punya planet, ia akan merasakan sedikit gangguan dari gaya tarik si planet, yang membuat bintang sedikit bergoyang. Nah, dengan melihat goyangan bintang, astronom dapat mengetahui ada berapa exoplanet yang mengorbit bintang itu dan berapa massanya.
Setelah semua planet yang ditemukan itu dipelajari, astronom menemukan kalau setengah dari bintang yang mirip Matahari punya setidaknya 1 planet yang lebih ringan dari Saturnus. Dan dari ke-50 exoplanet yang baru ditemukan itu, 16 di antaranya disebut sebagai super-Bumi, yang artinya massanya antara satu sampai sepuluh kali Bumi.
Salah satu planet super- Bumi yang ditemukan itu paling menarik perhatian karena ia berada di jarak yang tepat dari bintang untuk punya air dalam wujud cair. Kalau terlalu jauh air akan membeku dan kalau terlalu dekat airnya akan mendidih dan menguap. Sepertinya sih, planet ini mungkin saja punya makhluk asing!
Fakta menarik : Dengan tambahan 50 planet baru, saat ini sudah lebih dari 650 exoplanet yang ditemukan! Tapi masih ada lebih banyak lagi yang menanti untuk ditemukan.

ILMU ASTRONOMI

ASTRONOMI ((dari Yunani: άστρο, + νόμος) secara harafiah “ilmu bintang”) ialah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit (seperti halnya bintang, planet, komet, nebula, gugus bintang, atau galaksi) serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi (misalnya radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB)). Ilmu ini secara pokok mempelajari pelbagai sisi dari benda-benda langit seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi, gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukan dan perkembangan alam semesta.
Astronomi sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua, sebagaimana diketahui dari artifak-artifak astronomis yang berasal dari era prasejarah; misalnya monumen-monumen dari Mesir dan Nubia, atau Stonehenge yang berasal dari Britania. Orang-orang dari peradaban-peradaban awal semacam Babilonia, Yunani, Cina, India, dan Maya juga didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan tetapi meskipun memiliki sejarah yang panjang, astronomi baru dapat berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.
Astronom-astronom amatir telah dan terus berperan penting dalam banyak penemuan-penemuan astronomis, menjadikan astronomi salah satu dari hanya sedikit ilmu pengetahuan di mana tenaga amatir masih memegang peran aktif, terutama pada penemuan dan pengamatan fenomena-fenomena sementara.
Astronomi harus dibedakan dari astrologi, yang merupakan kepercayaan bahwa nasib dan urusan manusia berhubungan dengan letak benda-benda langit seperti bintang atau rasinya. Memang betul bahwa dua bidang ini memiliki asal-usul yang sama, namun pada saat ini keduanya sangat berbeda.