Sabtu, 08 Oktober 2011

P4, Bulan Baru Pluto


Dingin, jauh dari Matahari, tapi Pluto tak sendiri. Setelah Charon yang ditemukan pada tahun 1978, dan kemudian disusul oleh penemuan Nix dan Hydra tahun 2005, kini Pluto mempunyai teman baru, yang diberi nama sementara P4. Teman baru ini adalah satelit alam (bulan) yang mengorbit planet kerdil Pluto.
Gabungan dari citra-citra yang diambil Teleskop Ruang Angkasa Hubble menunjukkan empat bulan mengorbit Pluto. Kredit: NASA, ESA, dan M. Showalter
Teleskop Ruang Angkasa Hubble (HST) yang lah yang berjasa menemukan bulan kecil ini. Dari jarak 5 milyar km, kamera HST mampu mendeteksi P4. Pertama kali P4 terlihat dalam citra yang diambil oleh kamera medan luas 3 (Wide Field Camera 3) teleskop Hubble pada tanggal 28 Juni. Kemudian objek ini terlihat lagi pada citra yang diambil pada tanggal 3 Juli dan 18 Juli. Bulan kecil ini tidak terlihat pada citra-citra yang diambil teleskop Hubble sebelumnya karenaexposure timeyang diterapkan pada saat itu lebih singkat.
Diameter bulan baru yang diberi nama sementara P4 ini diperkirakan antara 13-34 km. Bandingkan dengan diameter Charon, satelit Pluto yang terbesar, yang mencapai 1043 km, dan juga Nix dan Hydra yang diameternya antara 32-113 km. Jadi, sementara ini P4 terkecil di antara bulan-bulan yang ditemukan mengorbit Pluto. Sementara itu, posisi P4 terletak di antara orbit Nix dan Hydra.
Ilustrasi sistem satelit yang mengorbit Pluto. Orbit P4, terletak di antara orbit Nix dan Hydra. Kredit: NASA, ESA, dan A. Feild (STScI)
Kita ingat bahwa analisa batuan yang diambil dari Bulan oleh misi-misi Apollo telah menggiring astronom berkesimpulan jika tumbukan antara Bumi dan objek sebesar planet Mars telah terjadi 4.4 milyar tahun silam dan material yang terlontar berakresi membentuk Bulan. Keseluruan sistem satelit yang mengorbit Pluto terbentuk akibat tumbukan yang serupa. Tumbukan diyakini telah terjadi antara Pluto dan objek lain yang kurang lebih sebesar planet. Tumbukan ini terjadi ketika Tata Surya kita masih muda. Material yang terlontar akibat tumbukan ini bergabung menjadi sekeluarga satelit yang mengedari Pluto. Astronom menduga material yang dilontarkan bulan-bulan Pluto akibat tumbukan-tumbukan antarmaterial berukuran mikro membentuk cincin di sekeliling planet kerdil. Sejauh ini Teleskop Hubble belum mendeteksi cincin semacam ini.
Penemuan ini turut mendukung misi New Horizon yang tengah dikerjakan NASA. Misi ini dijadwalkan akan mencapai orbit Pluto tahun 2015 dan ditujukan untuk memperoleh pemahaman baru mengenai dunia di tepi luar Tata Surya kita. Pemetaan permukaan Pluto yang dilakukan teleskop Hubble dan penemuan satelit-satelit sangat berharga dalam merencanakan bagaimana New Horizon nanti terbang mendekati Pluto serta observasi lebih detail saat New Horizon terbang-dekat melintasi Pluto.

Komet yang (Hampir) Seterang Merkurius


30 September 2011 jelang pukul 22:00 WIB, sebuah titik putih dengan magnitudo semu sekitar +1 terekam di sudut kanan bawah citra LASCO C3 SOHO (Solar and Heliospheric Observatory), sang veteran pemantau Matahari yang telah bertengger di orbitnya selama hampir 16 tahun. Berselang setengah jam kemudian, titik cahaya tersebut telah beringsut sedikit menuju sebelah kiri atas, berlawanan dengan gerak bintang–bintang yang ada di latar belakang citra yang sama. Dan yang membuatnya unik dibanding titik–titik cahaya lainnya, nampak bentuk ekor memancar dari titik cahaya ini. Tak pelak lagi, titik cahaya tersebut adalah komet yang sedang bergerak dalam lintasannya mendekati perihelionnya (titik terdekat terhadap Matahari). Komet ini tidak pernah tercatat dalam katalog sehingga jelas merupakan komet baru.
Komet SOHO (dalam lingkaran putus-putus) pada awal terdeteksi instrumen LASCO C3, 2 September 2011 jelang pukul 22:00 WIB. Kredit : NASA
Meski tak dikenal, namun berdasarkan pola lintasannya dapat diperkirakan komet ini adalah keluarga komet Kreutz. Keluarga komet Kreutz berasal dari sebuah komet raksasa (diameter inti +/– 100 km) yang lebih dari 20 abad silam terlihat di langit. Demikian besar ukurannya sehingga komet Kreutz bahkan sangat mudah dilihat meski di siang bolong dengan Matahari terang benderang. Karena perihelion demikian dekat, komet menderita tekanan angin Matahari dan gravitasi sekaligus sehingga terjadi fragmentasi tidal dan non–tidal, yang mengubahnya menjadi fragmen–fragmen beragam ukuran namun tanpa kehilangan sifat kometnya. Kala fragmen–fragmen ini kembali mendekati perihelionnya di kemudian hari, fragmentasi tidal dan non–tidal yang sama kembali bekerja sehingga kian banyak terbentuk fragmen komet dalam beragam ukuran yang semuanya membentuk keluarga besar komet Kreutz.
Komet SOHO pada 1 Oktober 2011 pukul 15:00 WIB yang telah demikian cemerlang hingga hampir menyamai kecerlangan Merkurius. Kredit : NASA, 2011
Sedikit berbeda dengan keluarga komet Kreutz lainnya yang telah teramati satelit SOHO sebelumnya dan rata–rata memiliki estimasi diameter inti hanya beberapa puluh meter, komet SOHO kali ini nampaknya lebih besar. Indikasinya nampak dari kecerlangannya yang hampir menyamai Merkurius, yakni pada magnitudo semu sekitar –1. Indikasi lainnya, komet terlihat mengalami fragmentasi non–tidal yang brutal yang membuatnya mulai remuk tatkala jaraknya dengan Matahari masih lebih jauh dibanding remuknya komet–komet keluarga Kreutz yang pernah teramati sebelumnya. Remuknya komet ini sudah terpantau di instrumen LASCO C3 yang memiliki medan pandang lebar dan nampak lebih jelas lagi dalam LASCO C yang medan pandangnya lebih sempit.
Seperti komet keluarga Kreutz lainnya yang pernah teramati, komet SOHO kali juga hanya mampu sekali mendekati perihelionnya untuk kemudian lenyap sepenuhnya karena fragmentasi non–tidal yang brutal membuatnya teruapkan habis. Mengutip kata–kata Chairil Anwar, komet ini “..sekali berarti, setelah itu mati…” Peristiwa spektakuler itu terjadi pada Minggu 2 Oktober 2011 di kala fajar untuk zona waktu Indonesia bagian barat (WIB).
Indikasi fragmentasi non–tidal yang brutal pada komet SOHO (tanda panah) seperti teramati dalam LASCO C3 (kiri) dan C2 (kanan), masing–masing pada pukul 20:30 WIB dan 22:48 WIB. Kredit : NASA, 2011

Komet dan Samudera, Sebuah Benang Merah


Bumi adalah sebuah keajaiban semesta. Pada masa awal tata surya, Matahari berada dalam fase T–Tauri yang dramatis sehingga membuat senyawa–senyawa gampang menguap seperti air, hidrogen, helium, metana, amoniak, nitrogen, karbon monoksida dan karbondioksida terusir dari permukaan planet–planet terestrial bersama sisa gas dan debu yang membentuk tata surya. Fase T–Tauri menyebabkan Matahari meradiasikan angin Matahari jauh lebih intens dan melepaskan panas dengan intensitas lebih besar, sehingga pada orbit Bumi saja suhunya diestimasikan sebesar 2.000° Celcius atau 100 kali lebih panas dibanding sekarang.
Maka menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa kini Bumi demikian berlimpah dengan air? Sebab ganasnya lingkungan tata surya purba pada saat Matahari menjalani fase T–Tauri hanya akan menyisakan senyawa–senyawa silikat saja di Bumi. Sementara air terusir jauh–jauh sampai ke jarak 600 hingga 750 juta km dari Matahari. Dan dibandingkan planet–planet terestrial tetangganya, hanya di Bumi air berada dalam wujud cair dan berlimpah. Sangat berbeda dengan Mars, yang hanya bisa dijumpai adanya jejak–jejak aliran air purba di permukaannya dengan siklus pembasahan sekitar setengah hingga sejuta tahun sekali. Pun demikian Merkurius, dimana air bahkan hanya bisa dijumpai pada kawasan sangat terbatas di kedua kutubnya sebagai bekuan abadi (permafrost).
Darimana air di Bumi berasal menjadi pertanyaan besar yang terus menggayuti benak astronomi. Air diketahui tersedia berlimpah di kawasan pinggiran tata surya, tersimpan sebagai bekuan (es) pada kometisimal–kometisimal yang menghuni awan komet Opik–Oort maupun sabuk Kuiper–Edgeworth. Satu–satunya mekanisme yang memungkinkan mengangkut air dari kawasan ini ke bagian dalam tata surya, khususnya ke planet–planet terestrial dan lebih khusus lagi ke Bumi hanyalah tumbukan benda langit. Dalam hal ini adalah tumbukan komet dengan Bumi. Meski tumbukan komet selalu diikuti pelepasan energi sangat besar yang ditandai munculnya bola api tumbukan bersuhu sangat tinggi, namun distribusi suhunya tidaklah homogen sehingga hanya sebagian kecil saja air dalam komet yang terurai menjadi hidrogen dan oksigen. Sisanya tetap berupa air meski dalam wujud uap. Jejak kawah di Bulan menyajikan bukti telanjang bahwa Bumi purba pernah mengalami periode paling riuh dalam tumbukan dengan komet, yang dikenal sebagai Periode Hantaman Besar. Hantaman Besar berlangsung 4,2–3,8 milyar tahun silam, dengan jumlah tumbukan komet per satuan waktu adalah sangat besar hingga sejuta kali lipat dari nilai sekarang.
Inti komet Hartley 2 dari jarak 700 km. Sumber : NASA, 2010
Namun komet dari mana yang berperan mengguyurkan air ke Bumi? Kini teka–teki itu mulai sedikit terkuak seiring publikasi hasil observasi terhadap komet Hartley 2 oleh para astronom Eropa yang bersenjatakan teleskop landas bumi Herschel. Komet yang melintas di dekat Bumi pada November 2010 lalu ternyata memiliki sidik jari nyaris identik dengan air di Bumi.
Berbeda dengan observasi in–situ seperti yang dilakukan NASA lewat misi EPOXI (Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation) yang bertulangpunggungkan wahana antariksa veteran Deep Impact, observasi Herschel lebih menekankan pada komposisi air khususnya rasio air berat terhadap air ringan (air normal) dalam coma Hartley 2. Air berat merupakan istilah populer bagi D2O, yakni molekul identik air yang atom–atom hidrogennya digantikan oleh atom deuterium, yakni atom hidrogen yang inti atomnya berupa 1 proton + 1 neutron. Sementara air ringan adalah air biasa atau H2O. Rasio antara air berat terhadap air ringan, atau lebih spesifik lagi antara atom deuterium terhadap atom hidrogen, merupakan sidik jari bagi air.
Air di Bumi mengandung 1.558 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini sangat berbeda dibandingkan air pada enam komet yang telah diobservasi sebelumnya dan diyakini berasal dari awan komet Opik–Oort, salah satunya komet Halley. Air pada komet–komet tersebut mengandung atom deuterium lebih besar yakni 2.960 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Angka ini nyaris dua kali lipat sidik jari air di Bumi, sehingga jelas air di Bumi tidak berasal dari kometisimal–kometisimal awan komet Opik–Oort.
Yang mengejutkan, justru sidik jari air di meteorit karbon kondritik yang lebih mendekati sidik jari air di Bumi, yakni dengan komposisi sekitar 1.400 atom deuterium dalam setiap 10 juta atom hidrogen. Namun meteorit tipe ini merupakan pecahan asteroid, khususnya asteroid kelas M yang terletak di Sabuk Asteroid Utama. Asteroid M terdistribusi pada jarak antara 300 hingga 600 juta km dari Matahari dengan konsentrasi terbanyak pada jarak sekitar 450 juta km. Meskipun air pada masa tata surya purba, khususnya saat Matahari menjalani fase T–Tauri, berada pada jarak antara 600 hingga 750 juta km dari Matahari sehingga sebagian populasi asteroid M tercakup didalamnya, namun jumlahnya cukup kecil sehingga tidak memungkinkan mencukupi suplai air ke Bumi.
Sidik jari air di komet Hartley 2 berdasarkan observasi teleskop landas bumi Herschel. Sumber : Space.com, 2011
Observasi teleskop landas bumi Herschel dengan memanfaatkan instrumen Heterodyne Instrument for the Far Infrared menyajikan fakta : air di komet Hartley 2 mengandung 1.610 atom deuterium per 10 juta atom hidrogen. Sidik jari ini nyaris identik dengan sidik jari air di Bumi. Dan dengan fakta bahwa komet Hartley 2 berasal dari kometisimal sabuk Kuiper–Edgeworth, maka untuk sementara dapat disimpulkan bahwa air di Bumi memang datang dari kawasan ini. Inilah benang merah itu.
Dengan data terbaru ini maka kita mampu merekonstruksikan datangnya air ke Bumi dengan sedikit lebih baik. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Periode Hantaman Besar, yang disebabkan oleh migrasi planet–planet gas. Saturnus, Uranus dan Neptunus purba bergerak lebih menjauh terhadap Matahari dibanding lokasi pembentukannya, sementara Jupiter purba justru sebaliknya yakni lebih mendekat ke Matahari. Migrasi ini menyebabkan planetisimal–planetisimal mini yang berada di antaranya dipaksa hengkang dari lokasi pembentukannya. Sebagian dihentakkan keluar menjauhi Matahari hingga menyusun sabuk Kuiper–Edgeworth. Namun sebagian lainnya dipaksa melesat menuju kawasan tata surya bagian dalam sehingga menghujani planet–planet terestrial.
Pada periode ini, Bumi diperkirakan menerima sedikitnya 70 trilyun ton air, yang memungkinkan untuk menciptakan samudera pertama. Planet–planet terestrial lainnya pun mengalami hal serupa. Hanya saja baik Mars, Venus maupun Merkurius tidaklah seberuntung Bumi sehingga air tak dapat bertahan lama di permukaan planet–planet tersebut.

Mengangkasa Di LKIG Dengan Roket Air


Tanggal 2-5 Oktober 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI menyelenggarakan final Lomba Kreativitas Ilmiah Guru (LKIG) Ke-19.
Acara yang diadakan di Kantor Pusat LIPI, tersebut diikuti oleh para guru dari berbagai tingkatan penidikan mulai dari pendidikan dasar, menengah pertama dan menengah atas. Lomba kreativitas yang diadakan untuk guru sekolah dasar terbuka untuk sleuruh mata pelajaran dengan sang guru memilih satu bidang. Sedangkan untuk guru SMP dan SMA, yang dilombakan meliputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan(IPSK) dan Bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Teknologi (MIPATEK).
LKIG yang diadakan oleh LIPI tersebut bertujuan untuk memberikan inspirasi sekaligus meningkatkan daya kreativitas guru dalam upaya pengembangan proses pembelajaran guna mempermudah pemahaman ilmu pengetahuan bagi para peserta didik. Dan dari seluruh karya peserta yang masuk, dipilihlah 5 finalis dari masing-masing tingkat pendidikan dan khusus untuk SMP dan SMA dipilih 5 finalis dari masing-masing bidang.
Seluruh pemenang LKIG. Kredit : Anton William
Aldino saat menerima piala dan penghargaan. Kredit : Anton William
Di antara seluruh finalis, satu di antaranya adalah Aldino Adry Baskoro dari langitselatan yang mewakili Sekolah Alam Bandung menampilkan karya Roket Air yang sudah ia kembangkan selama ini semenjak tahun 2008. Hasilnya, karya tersebut tidak hanya bisa kami bagikan lewat situs ini, tapi Dino juga bisa meroket dalam LKIG dan meraih juara pertama. Diharapkan roket air yang dikembangkan ini dapat terus disebarkan dan digunakan bagi siswa tidak saja untuk mengembangkan daya kreatifitas melainkan juga sebagai perkenalan awal pada dunia antariksa. Di balik kebahagiaan itu, beberapa waktu lalu kami juga baru mengetahui kalau ebook yang kami sebarkan foto-fotonya dikopi begitu saja untuk ditampilkan dalam buku milik Ristek tanpa memberikan kredit pada sang pemilik foto.